Friday, December 15, 2017

Catatan akhir tahun: 2017, Tahun yang Aneh



Suatu pagi di bulan November. 

Tinggal saya dan Cip di dapur. Anak-anak sudah berangkat sekolah. Cip tiba-tiba menghela nafas, ketawa, dan bilang,  

“Aaahhh tahun yang aneh”.
“Eh?, kenapa?. Though I agree, menurutku ini emang tahun yang aneh”.
“Yaaah aneh aja. Tiba-tiba harus berubah dari nol lagi walaupun nggak literally nol”.

Dia membicarakan soal pekerjaan.  

Tiba-tiba, setelah 1 dekade kerja di sebuah perusahaan, dia harus kembali ke titik awal: cari pekerjaan baru. For many reasons. Setengahnya personal, setengahnya lagi profesional.

Yang jelas saya tahu, it was not an easy process for him. It was a struggle in itself karena 1 dekade, yang walaupun penuh dengan ups and downs and there were times when he was not sure of what he was doing or if he wanted to continue doing it, tapi jelas 1 dekade yang ‘nyaman’. Kembali ke titik nol, bukan sesuatu yang nyaman, pastinya.

Dan kok ya ndilalah dia harus menghadapi perubahan itu di penggal terakhir tahun 2017. Kok ya pas. Tahun baru nanti, mulai sesuatu yang baru.

Itu kenapa 2017 jadi aneh buat dia.

Lalu kenapa buat saya, ini juga tahun yang aneh?.

Gara-gara 2 hal besar: yang satu menyangkut anak sulung, dan satu lagi tentang anak ketiga (saya selalu menganggap Eye to Eye itu anak ketiga saya).

Tapi intinya juga sama seperti Cip. Saya pun, rasanya, banyak harus kembali ke titik nol di tahun ini. Saya harus banyak refleksi tentang apa yang sudah saya lakukan, mengenali lagi diri sendiri, dan antara terpaksa dan tidak, memaksa diri untuk berubah dalam beberapa hal.

--

Menghadapi ABG, mengubah cara pandang. 

ABG. Usia labil yang penuh emosi. Dan walaupun saya juga pernah ABG, tapi sudah tidak jamannya untuk bilang, “Dulu gue juga begini, harusnya dia juga begitu”. Jaman saya ABG, dunia belum sesinting sekarang.

Dan semakin si sulung jadi ABG, semakin saya merasa ada sisi dia yang saya tidak mengerti. Komunikasi kami adakalanya jadi buruk sekali.

So bad that one day, she slammed the door right in front of my face. Dan itu, bikin saya kaget.

Reaksi pertama tentunya adalah murka. Ebuset. Dia banting pintu di depan muka gue!.

Tapi sebelum saya keluarkan kemurkaan saya untungnya saya sempat menahan diri. Dan sesudahnya yang ada adalah rasa sedih. Dan, kemudian, takut.

Saya takut dia akan jadi berjarak dengan saya. Seperti halnya saya dulu berjarak dengan ibu saya karena merasa beliau tidak pernah 100% memahami saya dan apa yang saya mau.

Saya tidak mau seperti itu, apalagi dengan jaman seperti sekarang dimana hilangnya kemampuan komunikasi jadi akar dari begitu banyaknya masalah di dunia.

Akhirnya, saya memutuskan kalau saya butuh bantuan. Walaupun saya lulusan Psikologi, bukan berarti saya canggih menyelesaikan masalah saya sendiri. Psikologi, kan, untuk anda #ilmungelessepanjangmasa.

Akhirnya saya ngobrol dengan salah satu teman saya yang berpengalaman mengatasi masalah dengan anak remaja.

The heart of the matter was: I have to change. Saya harus mau berpikir lewat cara pandang si sulung. Dan bukan memaksakan bahwa sudut pandang saya A, maka dia juga harus memahami sudut pandang saya.

Klasik ya?. Begitu klasiknya, begitu lumrahnya, sampai kadang sebagai orang tua, kita melakukannya tanpa sadar. Dan baru terbangun saat ada reaksi negatif dari anak. Atau malah, tidak terbangun sama sekali.

Obrolan dengan teman saya menyadarkan bahwa ternyata, sayapun melakukan hal lumrah itu.

Saya harus mengubah gaya komunikasi saya. Dari, “Menurut bunda blablabla”, menjadi, “Kalau menurut kamu, gimana Kak?”. Tanpa saya sadari, ternyata, saya sering sekali bergaya ceramah tanpa diminta. Padahal, si sulung ini jenis pemikir dan sangat intraverted. Berinteraksi dengan orang lain secara intense is just not her forte. Itu termasuk dengan orang tuanya.

Jika saya ingin didengar, maka saya yang harus mengenali dirinya, dan sensitif untuk tahu apakah dia sedang ‘bukakan pintu’ atau tidak. Dan bukan sebaliknya saya tanpa tedeng aling-aling barging into her life, and give her a speech.

Pelan-pelan, saya berusaha mengubah diri. Not an easy thing. Saya harus amat sangat self-aware saat ada dalam situasi dimana secara otomatis, insting saya adalah ‘berceramah’. Atau, ngomel. Dengan amat sadar saya harus menunggu apa yang si sulung ingin katakan, baru berespon. Saya jadi harus sangat sadar dengan intonasi bicara saya supaya si sulung mau cerita tanpa saya tanya.

Things get better now. Saya merasa Tara sekarang lebih rileks untuk ngobrol dengan saya.

Hadiah terbesar dari semua usaha saya, saat di suatu malam minggu kami pergi berdua saja. Malam yang sederhana, nongkrong di warung kecil sambil cerita remeh temeh.

Dan tiba-tiba, dia cerita tentang orang yang dia taksir waktu SD dan apa rasanya naksir cowok. Topik yang sebelumnya tidak pernah mau dia sentuh seberapa usahanyapun saya bertanya karena saya ingin membuka obrolan tentang perempuan dan laki-laki. Bagaimanapun juga, saat jadi ABG, itu adalah horizon baru yang harus dia hadapi dan saya tidak ingin dia salah langkah. Klasik, lagi, iya kan?.

Tiba-tiba saja, kesempatan itu datang.

Mendengar cerita spontannya. Perasaannya. Melihat seluruh ekspresi wajahnya. Dan tanpa kami sadari, mengalirlah obrolan tentang jatuh cinta, dan segala resiko jatuh cinta. Mengalir begitu saja. Tanpa rencana. Tanpa ceramah, tapi sebuah dialog antara dua perempuan.

Dan saya bahagia.  

Saya masih berproses untuk terus mengubah diri supaya tetap eling dengan cara komunikasi yang sesuai dengan kepribadian anak yang unik ini. Tapi obrolan malam itu, jadi sinyal bahwa I am on the right track now.

Sebagai ibunya, I always thought I knew her. Saya lupa, kalau seiring dengan perubahan usia, dia juga akan berubah. Atau mungkin sebetulnya, saya kira saya kenal dia, tapi sebetulnya tidak, atau belum.

Dan saya kira, saya kenal siapa saya. Tapi ternyata, ada saat I was being someone else who I did not think I was. Saya kira saya bisa menghindari hal-hal yang buat saya menakutkan kalau sampai saya lakukan sebagai orang tua. Tapi ternyata, saya melakukannya juga tanpa saya sadar.

Jadi orang tua memang tidak mudah. But then, so is life. If it was easy, why would God create us all to preserve this beautiful life?. Rasanya karena Tuhan tahu, setiap dari kita, mampu berubah. 

Wefie kami malam itu. 2 Desember 2017. She used to say, "Bunda konyol". Oh well...I'll stay like that if that's what it takes to get to her heart
 -- 


Berubah, tanpa mengubah

Saya bukan orang yang ambisius. Target, buat saya, tidak pernah jadi sebuah kata yang sakral, bahkan di saat mungkin harusnya saya begitu karena harus mengelola bisnis yang idealnya berkembang terus. 

But I just can’t be like that.

Tahun 2016, dengan segala kesulitannya, kami bisa melaluinya dan alhamdulillah baik-baik saja.

Belajar dari tahun lalu, kami banyak melakukan rencana perubahan sebagai persiapan masuk ke tahun 2017. Salah satunya, mencanangkan target pencapaian pendapatan perusahaan yang jumlah digitnya lebih banyak daripada tahun lalu. 

Waktu para partner ketemu buat membicarakan target, dan angka itu dijabarkan di muka saya, saya keringet dingin. Kata pertama yang nongol di kepala saya, “Gila kali”.

Tapi dengan argumen-argumen yang diajukan, yang walaupun terdengar meyakinkan tapi saya tetap tidak bisa hilangkan kata ‘gila’ dari kepala saya, akhirnya saya mengalah pada kegilaan.

Keringet dingin pake banget. Karena saya tahu resikonya.

Resiko yang paling besar, yang bikin saya yakin itu adalah kegilaan, adalah: if that is achieved, there is no turning back. Tidak mungkin balik ke digit yang lebih sedikit!. Akan sakit sekali kalau terpaksa mundur. Dan demotivating sekali, pastinya. I’ve been there once and it was not at all pleasant.

Resiko lain: saya takut kami akan jadi pabrik. Yang sibuk membuat hasil produksi, dan lupa menjadi ‘manusia’. Saking sibuknya mengejar target, saya takut kami jadi lupa kalau kerja juga harus dengan hati.

Tapi, yang bikin saya menerima kegilaan itu karena saya juga tahu, kalau itu tercapai, then, artinya ternyata saya dan teman-teman mampu ya ambisius. Haha…jadi someone yang ‘nggak gue banget’.

Saya bukan orang ambisius tapi ada darah nekat di diri saya. So I guess, itu terkilik sedikit.  

Dan pastinya, kalau tercapai, akan ada banyak hal yang sebagai sebuah tim bisa kami lakukan. Ada lebih banyak pelajaran yang akan mengayakan pengalaman mental kami. Ada resources untuk melakukan lebih banyak – investasi dalam hal-hal yang bisa bikin kami lebih keren (bukan oplas, tentunya….).

Dan bagi saya, berpikir bahwa perusahaan ini akan bisa lebih membahagiakan mereka yang bekerja di dalamnya kalau target gila itu tercapai, adalah muara dari segalanya. Itu mercusuar saya, no more, no less.

Dengan itu, di rapat tahunan kami tahun lalu, kami ketok palu. Mengiyakan kegilaan. Dan bersama kami melangkah ke 2017.

Dan begitulah. Waktu bergulir. Kami kejar-kejaran dengan waktu. Mengejar target, sambil terus berusaha tidak kehilangan kewarasan dalam melakukannya.

Ada saat-saat dimana rasanya saya ingin menginjak rem (saya tidak tahu bagaimana dengan teman-teman…mungkin merasakan hal yang sama tapi tidak berani bilang…hehe). Ada saat-saat rasanya saya sedang nabrak tembok dan babak belur.

Perjalanan saya untuk diving sebentar ke Pulau Weh di bulan September, yang jadi highlight tersendiri di tahun ini, hanya ampuh menghibur buat beberapa minggu setelahnya. Memasuki Oktober energi saya rasanya ada di level 30% saja. 

So, it was challenging. Melawan diri sendiri untuk terus berlari saat rasanya hati hanya ingin dibiarkan sendiri untuk mengumpulkan lagi energi.

Tapi juga ada saat dimana saya merasa sangat bersemangat. Merasakan energi luar biasa saat para anggota tim bertepuk tangan bersama (seringkali secara virtual lewat emoji di ruang WAG kami), begitu keluar hitungan demi hitungan yang kami capai. Bulan demi bulan.

Dan dalam semuanya, di saat yang sama saya merasa keanehan. Ternyata, saya tidak kehilangan siapa saya. Kami tidak kehilangan siapa kami.

Target itu tidak mengubah saya menjadi orang yang dingin. Saya tetap bisa berpegang teguh pada prinsip bahwa bisnis ini, harus untung di dua sisi: untung di Bank, dan untung di hati.

Saya tetap bisa menikmati proses melakukan pekerjaan yang sudah bikin saya nggak bisa pindah ke lain hati ini. Walaupun di saat saya sedang di titik paling lelah dan saya sempat mengeluh pada Cip, komentar dia bikin saya ngakak, “Ya kan kamu aslinya bukan orang yang seneng ngelayanin orang. Kalau bisa, kamu maunya nggak berurusan sama orang kecuali orang-orang yang emotionally important buatmu. Tahun ini kamu harus mati-matian ngelayanin klien hampir nggak ada putusnya. Travel juga lebih jarang tahun ini dibanding tahun lalu. Ya jelaslah kamu jadi capek banget”.

Spot on :) 

Dan ternyata, kami tetap bisa solid sebagai tim. Kami masih bisa berkarya tanpa lupa bahwa setiap karya harus memberikan sesuatu yang berarti. Buat kami sendiri, dan buat klien.

Keanehan lainnya: bahkan dengan kegilaan yang terjadi, kami ternyata tetap bisa melakukan beberapa perubahan. Ada beberapa hal baru yang kami lakukan. Beberapa kesintingan kami lakukan karena kami bosan melakukan yang itu-itu saja. 

Padahal, melakukan hal baru artinya menambah beban pikiran karena yang baru selalu butuh penyesuaian. Padahal, kami juga kehilangan beberapa anggota tim dan itu juga pukulan lumayan buat kami. But we did all that, with laughter (sweet or bitter laugh, let it be the personal secret of everyone), nevertheless.

Dengan semua kegilaan itu, ternyata, kami bisa. Kami mengejar ambisi, tanpa kehilangan hati.

Dan, di minggu pertama Desember, hello target, here we are!!!. We have reached the finish line earlier than we expected!.

Oh my God. Luar biasa rasanya. Leganya. Herannya. Harunya. 

Senang, pasti. Tapi juga cautious. Karena ini artinya justru kami harus lebih hati-hati dalam melangkah ke depan. But at least, we've learned to stretch ourselves.  

Saya tidak tahu kegilaan macam apa lagi yang menunggu kami di 2018. Tapi pengalaman tahun ini, dengan semua jungkir baliknya, betul-betul membuka mata saya bahwa you just need to believe. In yourself, and in your team. 

Persis seperti potongan lirik lagu ‘When You Believe’ dari Prince of Egypt yang dinyanyikan dengan keren  oleh almarhumah Whitney Houston dan si suara setinggi langit Mariah Carey:

There can be miracles when you believe
Though hope is frail, it's hard to kill
Who knows what miracles you can achieve
When you believe, somehow you will
You will when you believe

Yes. You’ve just got to believe. No matter how frightful or strange it may be.

And that you can change, without losing yourself. And believe that even when you THINK you are at your lowest point, God will lift you up somehow, in ways that only He knows how. 

So just believe, with all your might!.

14 Desember 2017. Foto pertama kami yang lengkap!. A night to remember: semua partner hadir bersama dengan semua yang terlibat dalam keseharian jungkir baliknya bisnis ini. Bersama kami mensyukuri yang telah tercapai. Bersama kami memohon kemurahan hati Sang Maha Segala agar tahun depan kami masih tetap bisa sekompak ini dan mencapai yang terbaik buat semua
 --

A year can do so much to a person. 2017 did just that to me: it has changed me in so many ways. It’s been a year filled with personal and professional challenges.

Semoga semua perubahan itu membawa hasil yang manis di tahun 2018.

Dan bagi semua yang telah baik hati mampir di tulisan ini, selamat menyambut 2018. Selamat bersiap dengan rencana apapun. 

Semoga kita semua bisa berlayar dengan baik di tahun depan. Lebih kuat menghadapi badai dan kegagalan. Lebih bisa belajar dari setiap kegagalan maupun keberhasilan. Lebih bijak menghadapi hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Aamiiin.

Bismillah. God bless you all in your journey!!.

Tuesday, December 12, 2017

Dialog hati



Suatu malam, 2 tahun lalu. 

Hari itu, kamu menangis sesenggukan.

Katamu, teman-temanmu menolakmu. Katamu, kamu merasa nggak punya teman di kelas. Nggak ada yang bisa diajak ngobrol.

Tahukah, Kak, hari itu, hati bunda ikut menangis bersamamu. Melihat kamu menangis sesenggukan di bahu bunda, mungkin adalah kali pertama bunda merasa betapa berat ternyata melihat anak sendiri ‘sakit’. Lebih sakit dibanding waktu lihat kamu kesakitan ditusuk jarum infus. Karena ini di dalam, tempat yang bunda nggak bisa elus-elus. Nggak bisa bunda lihat seberapa besar lukanya sehingga bunda nggak tahu akan sembuh berapa lamakah luka itu. Dan seperti apa nanti bekasnya.

Tapi Kak, di saat yang sama bunda juga tahu. Itu harus kamu jalani. Sekarang, bukan nanti. Karena nanti, mungkin akan jadi terlambat. Sekarang, supaya kamu lebih cepat sembuh karena lebih cepat belajar gimana mengatasinya. Sekarang, supaya nanti, kamu bisa lebih kuat menghadapi hal-hal yang lebih berat.

Kak, mencari teman itu sama seperti mencari diri sendiri. Butuh proses dan waktu. Nggak ada rumus apapun yang bisa mempercepat proses itu. Nggak ada yang bisa bilang ke kamu kalau nanti, di umur sekian, kamu akan ketemu teman yang pas. Nggak ada jawaban untuk itu, Kak. Karena itu juga adalah proses dimana kamu mengenali dirimu sendiri – apa yang hatimu merasa cocok.

Dan hatimu, juga akan berkembang seiring waktu. Isi didalamnya, tergantung pada apa yang kamu ijinkan dirimu pelajari. Apa yang kamu pelajari, tergantung pada seberapa terbukanya kamu mau menggali hal-hal yang baru. Nggak ada rumusnya, Kak.

Teman yang baik, juga susah dicari Kak. Akan selalu ada trial and error. Saat kita kira teman kita baik, tahu-tahu dia berubah, entah karena apa. Apakah itu salah?. Nggak juga. Jalani saja. Yang penting, jaga hatimu.

Bunda selalu percaya ini Kak: hati yang baik akan selalu menarik orang yang baik untuk jadi teman kita. Jadi, jagalah hatimu dari penyakit hati. Apa itu penyakit hati?: sombong, iri sama orang lain, suka buruk sangka pada orang lain, dan pelit pada orang lain (pelit macem-macem Kak, termasuk pelit ilmu...). Nah ini yang harus Kakak pastikan nggak ada di hati kakak.

Kalau ada orang yang lebih dari Kakak, alhamdulillah, dan semoga satu saat kakak bisa kayak gitu atau bahkan lebih. Itu aja. Berdoa dan berusaha terus untuk jadi kita yang lebih baik, dan bukan dengan iri pada orang jawabannya.

Semoga satu saat nanti kamu akan ketemu teman-teman yang asik. Bunda yakin kok kakak akan menemukan mereka nanti. Sabar aja. Nikmati dan jalani aja prosesnya sekarang Kak, walaupun kadang susah.

Dan yakin ini: Allah tidak pernah membiarkanmu sendiri. Dan, ada ayah, bunda, Lila, oma, mbah Roko, tante I, om Shabier, dan budhe-budhe dan pakdhe-pakdhe juga mas-mas dan mbak-mbak dan yang lain-lain yang ada di sekitarmu. Yang akan selalu menerima kamu, apa adanya.

Run to any of us, anytime, if you ever need a shoulder to cry on... 



Di tengah kemacetan sore ini, demi membuang kebosanan, saya buka laptop. Maksud hati menyelesaikan catatan akhir tahun yang saya mulai tulis 2 hari lalu. Tapi saya malah menemukan tulisan ini di sebuah folder yang isinya semua tulisan yang saya bikin untuk blog ini. 

Sepertinya hari itu saya butuh curhat setelah merangkul dan ngobrol dengan si sulung yang beranjak jadi ABG waktu itu. Menulis seperti biasa meringankan beban hati saya. Saya malah sudah lupa saya pernah tulis semua itu.

Times like those, made me realised bahwa jadi ibu itu artinya juga adalah penguatan hati kita sendiri sebagai manusia, dan sebagai perempuan. 

Ibu, tidak punya pilihan lain selain punya hati yang luas dan tegar. Bagaimana tidak. Saat anak dalam situasi seperti itu, pilihan apa yang kita punya sebagai ibu selain menguatkan diri sendiri padahal rasanya air mata kita sendiri siap untuk tumpah?. Pilihan apa yang kita punya bahkan mungkin jika saat itu hati kita sendiri sedang butuh dihibur?. Ibu harus selalu siap untuk senyum, menguatkan, memeluk, memberi kehangatan, regardless of what she really feels inside.

Untuk itu, saya bahagia jadi perempuan...dan diizinkan memiliki anak. Karena artinya Tuhan percaya hati saya bisa jadi cukup kuat. Tuhan percaya bahwa hati saya bisa cukup lentur. 

Yah semoga saya tidak pernah mengecewakan Tuhan untuk mengemban tugas saya sebagai Ibu, istri, perempuan, dan yang paling penting, sebagai manusia. Aamiiiin..

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts