Tuesday, September 12, 2017

Topeng dan kamuflase



Salah satu yang bikin saya nyandu diving adalah melihat betapa cerdasnya Tuhan menciptakan segala bentuk kamuflase buat banyak sekali hewan di laut.

Ada yang bisa berubah warna. Ada yang memang diciptakan warnanya sama dengan tempat dia hidup. Ada yang bahkan bisa menyesuaikan bentuk dan warna tubuhnya dengan tempat persembunyiannya. Ada yang tidak terlihat di siang hari, tapi di malam hari ternyata tubuhnya bisa jadi besar atau bahkan warna warni atau bersinar. 

Wasp fish. Seperti daun ya?. Saya kira tadinya memang daun nyangkut

Lihat mata nggak di pasir?. Ini ikan pari. Dia sembunyi. Tapi warna badannya memang serupa dengan warna pasir

Pipe fish. Tersamar dengan baik dengan warna karang

Stone fish. Favorit saya karena susah membedakan dia dengan coral


Kamuflase ini biasanya tujuannya dua: bersembunyi dari hewan pemangsa, dan jadi pemangsa tanpa terlihat. Yang jelas, apapun bentuknya, segala bentuk kamuflase ini sangat menarik buat diobservasi.

Gimana dengan manusia?.

Kita juga sebetulnya punya mekanisme kamuflase. Malah lebih canggih, mungkin. Kita memang tidak bisa berubah warna kulit, apalagi berubah bentuk (kalau bisa mah asik juga. Kalau mau pakai kebaya bisa selangsing Sophia Latjuba, kalau terancam bisa berubah jadi Big Momma…). Tapi kita dianugerahi kemampuan bermain peran, dan menyesuaikan ekspresi wajah dengan situasi sosial.

Wajah dan ekspresi wajah kita inilah, kamuflase terkeren kita. Topeng yang kita kenakan tiap hari.

Coba, siapa yang bisa nebak, di balik senyuman manis, ada rahasia hati apa yang terpendam?. Betulkah seseorang sedang bahagia hanya karena dia tersenyum?. Atau, di balik air mata dan ekspresi kesedihan, apa sebetulnya yang disimpan?.

Topeng kita bahkan bisa banyak sekali. Dan kita bisa menggantinya sesuka kita – sesuai dengan kebutuhan. Dalam satu hari, mungkin kita pakai beragam topeng sebetulnya. Sadar ataupun tidak.

Kalau hewan di laut berkamuflase untuk melindungi diri dan juga memangsa, rasa-rasanya ya kita juga begitu. 

Demi melindungi diri dari dibilang bodoh, lalu kita pakai topeng kecerdasan – bisa berpendapat (padahal belum tentu juga pendapatnya benar. Pokoke asbun dulu lah). Demi tidak dikasihani padahal hati sedang remuk redam, kita ketawa-ketawa riang gembira. Atau, demi bisa ngibulin orang, pakailah topeng orang alim (ups… Udah gitu aja. Daripada nanti saya dibilang sedang menistakan sesuatu).

Tapi bedanya kita dengan kamuflase para hewan itu, mereka melakukannya dalam batas tertentu. Ya memang karena cuma dikasih segitu sama Sang Empu, mau gimana lagi. Sementara kita, sepertinya keahlian pertopengan kita sebetulnya selalu berevolusi. Makin lama, makin canggih.

Pertanyaannya: kita ini sebetulnya sadar nggak ya bahwa urusan pertopengan ini harusnya juga ada batasnya?. Mau sampai kapan kita berevolusi dengan keahlian ini?. Jangan-jangan banyak masalah di dunia ini muncul ya gara-gara kita terlalu canggih menciptakan topeng-topeng baru.

Terus kenapa tahu-tahu saya ngomongin kamuflase dan topeng?.

Saya sedang geli mengamati bagaimana dunia media sosial membuat kita semua makin pandai bertopeng. An invisible mask, I call it. Invisible karena nggak kita pakai di wajah kita. Kita nggak sedang memainkan ekspresi wajah. Kita sedang memainkan peran yang sangat berbeda dengan kita di dunia nyata.

Dan uniknya, semakin tak terlihat topeng yang satu ini, kok ya makin merajalela pula cara kita menggunakannya. Makin menakjubkan cara kita memanipulasinya.

Itu kadang bikin saya khawatir. Khawatir bahwa kita jadi lupa siapa kita sebetulnya tanpa semua topeng itu. Kita jadi terlalu terbiasa berlindung di balik berlapis-lapis mekanisme kamuflase, sehingga lupa kalau semua itu semu.

Ah. Ngelantur saya sore ini rasanya kok berat ya. Mungkin saya butuh piknik lagi #eeh

Wajah polos anak-anak. Akan ada masanya merekapun akan menggantinya dengan banyak topeng

Mungkin, satu-satunya saat kita luruhkan seluruh topeng kita adalah saat sedang berdialog dengan Sang Empu. Ataaauu....jangan-jangan, masih kita pakai juga topeng itu?.

(R I R I)

No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts