Saturday, July 8, 2017

Give yourself a break, mothers

Menikmati sore di pantai Ora

Saya sering ditanya ini, “Kok bisa sih loe jalan sendirian dan lumayan sering”.

Dulu waktu masih muda-an dikit, saya malah nggak pernah sih memang jalan sendirian. Kalau nggak sama teman-teman kuliah, ya sama keluarga, atau sama kakak saya.

Entah kenapa, setelah punya anak, saya malah punya kebutuhan yang amat sangat besar untuk sesekali sendirian.

Tadinya, ada perdebatan panjang dengan diri sendiri. “Ih gue tega banget ninggalin Tara”. “Kalau ada apa-apa kan kasihan Cip sama Tara”. “Gue ibu apaan sih kok udah punya anak malah pengen sendirian”. 

Belum lagi saya kan juga ibu bekerja. Waktu baru ada Tara, setiap hari pergi kantor pagi, pulang malam. Walaupun nasib saya masih lebih baik dibanding teman-teman yang tinggal di suburbs-nya Jakarta karena masih bisa ketemu anak waktu dia masih melek, ya tetap saja ada rasa bersalah sana sini.

Jadi kalau kebutuhan saya untuk sendirian tiba-tiba muncul, rasanya nggak enak banget.

Cuma ada satu hal yang kemudian saya sadari sendiri.

Setiap kali saya kembali pulang dari my moments of solitude, saya memang merasa segar secara mental.

You may say it’s obvious. Tapi, gini, saya ceritain deh.

--

Dulu ibu saya, yang mantan ibu bekerja, pernah bilang gini, “Jadi ibu tu nggak boleh sakit. Nggak boleh bilang capek”. 

Saya nggak ngerti dulu apa maksudnya sih si Mama nih. Dan dasar remaja kutu kupret, dalam hati saya cuma komentar, “Ah ini biasa deh….pasti lagi kesel”. 

Tapi sekarang, saya jadi paham pake banget maksud beliau. Dan saya jadi pening sendiri kalau mikir itu gimana dulu ibu saya menghadapi apa yang beliau harus pikirkan dan kerjakan. Urusan kantor. Urusan keluarga – baik ngurusin kami maupun keluarga besarnya. Belum lagi ngurusin rumah karena dulu kami sering sekali nggak punya pembantu. Plus tetek bengek lainnya.

Saya sekarang baru ngerti apa maksud beliau bahwa jadi ibu memang kadang nggak boleh sakit atau bilang capek. Ya karena memang adaaaaaa aja.

Baru bangun tidur, sudah ada urusan siapa maunya sarapan apa dan bawa bekal apa. Lanjut mikir ngatur lalu lintas alias siapa harus dijemput kapan dan jam berapa lalu harus kemana lagi setelah itu. Dan kalau masih ada kegiatan, harus dibekali apa dan harus titip pesan apa pada orang yang di rumah kalau saya harus keluar untuk kerja.

Belum lagi kalau harus ingat apa yang harus dibayar kapan. Ditingkahi dengan sederetan deadline dan skedul meeting dan urusan kantor lain yang sering datangnya dadakan. Apalagi karena saya punya tim yang virtual alias nggak ketemu muka tiap hari di sebuah gedung kantor, nyalain hape pagi hari (saya punya kebiasaan mematikan hape kalau mau tidur), kadang bisa seru banget karena ada ‘kejutan manis’ entah lewat e-mail atau Whatsapp.

Dan paling asik kalau pagi-pagi ada bumbu, “Bundaaa, ini-ku (bisa seragam, bisa sepatu, bisa tas, bisa buku sekolah….you name it) dimana ya?”. Ya biasanya saya selepet dengan bilang, “Cari dan bukannya cuma teriak. Itu kan barangmu bukan punya aku” (ngapain saya yang harus pusing nyariin barang mereka…nggak ada itu di kamus saya sih…).

Itu, hari normal. Setiap hari. Yang tidak normal biasanya kalau ada yang sakit, ada urusan mendadak, dan ini itu lainnya yang bikin saya butuh waktu untuk berhenti, inhale exhale, and get on with it.

Iya memang ada ayahnya anak-anak yang selalu bantuin. Tapi ya, biar gimanapun membantunya seorang ayah, ibu tuh biasanya memang yang lebih banyak tahu ini itu-nya anak-anak. Nggak menegasikan peran ayah tapi ya itu menurut saya sudah kodratnya ibu ya begitu itu mau diapain juga.

Semua hal rutin (dan yang nggak rutin juga sih), nggak bikin saya capek fisik memang. Tapi dari segi pikiran, seringkali terasa otak jadi bumpet. Not in a debilitating way dan membuat saya nggak bisa mikir lagi sih, tapi pasti ada momen dimana rasanya pengen tutup kuping, tutup mata, dan ngacir. Hehehe….

Nah dulu saya merasa jahat mikir kayak gitu. Tapi lama-lama, hey, saya kan manusia. Dan siapa bilang mentang-mentang saya seorang ibu terus saya nggak boleh istirahat dari peran saya, sebentar saja?. Karena kalau mental saya lelah, yang rugi kan juga anak-anak (suami mah wassalam…salahnya mau nikahin saya, udah tahu galak…). Saya jadi nggak lagi punya kapasitas untuk mau mendengarkan mereka. Kesabaran saya pasti di tingkat ketipisan yang membahayakan. Saya jadi uring-uringan.

Dan akhirnya, daripada saya jadi a Monster Mom, saya memilih untuk berdamai dengan diri sendiri dan mengijinkan diri saya untuk cooling down, sendirian, from time to time.

Kenapa harus sendirian?. Wah itu masalah preferensi saja. Saya merasa lebih nyaman sendirian karena memang tujuannya untuk cooling down dari ngurusin orang lain. Saya cuma perlu mikirin kebutuhan saya dan bukan kebutuhan orang lain. Saya memang mau memanjakan diri, dan itu artinya ya pergi sendirian, melakukan yang saya mau, seenaknya saya (walaupun ada juga yang pernah komentar, “Gue nggak ngerti konsep loe pampering yourself. Pampering kok ke tempat yang susah-susah. Hiking, kalo nggak diving. Bangun pagi buta buat ngejar sunrise. Jogging. Orang tuh ke spa, leyeh-leyeh, nginep di villa, dilayanin, itu baru pampering”. Hehehe….yaaah….gimana dong…).

Tapi kan setiap orang punya cara sendiri untuk cooling down – jadi ya silahkan pilih saja, mau sendirian atau ajak teman.

Cuma menurut saya walaupun kita ini makhluk sosial, menyepi itu selalu menguntungkan. Paling nggak, ada 3 hal yang asik dari menyepi:
  1. It gives you time to appreciate yourself, and appreciate the presence of others in your life.
  2. It gives you time to listen to yourself, yang seringkali dengan banyak alasan apalagi kalau kita adalah seorang ibu dan Istri, harus kita kesampingkan demi kebutuhan orang-orang yang kita sayang.
  3. It gives you time to realize that there is a bigger life out there. Karena begitu sendiri kita akan jadi sadar banget betapa kerdilnya kita, dan itu membuka mata dan hati bahwa selama ini jangan-jangan kita terlalu egois.  

Poin pertama dan kedua, begitu saya jadi ibu, terasa sekali manfaatnya. Pulang ke mereka, setelah menyepi, itu bikin saya recharged. Jadi bukan cuma karena saya sempat istirahat yang bikin saya kembali segar secara mental, tapi juga pulang ke mereka, yang bikin saya siap menghadapi hari. Saya teringatkan lagi bahwa they are my energy.

Poin ketiga, saya rasa harusnya dilakukan setiap dari kita, seorang ibu ataupun bukan. Karena dalam menjalani hari, kita kan memang sering cuma mikirin diri sendiri dan mereka yang dekat dengan kita saja kan?. Nah kalau sendirian, baru deh kita sadar kita ini cuma debu kok, disentil juga hilang.

Perasaan seperti itu, mengingatkan kita buat senantiasa merunduk dan tidak memelihara kesombongan sekecil apapun di dalam hati. Bahwa di luar sana masih banyak orang yang lebih hebat daripada kita. Belum lagi kalau menghadapi alam....ada yang salah dengan Anda kalau masih bisa merasa sombong menghadapi laut lepas yang nggak kelihatan pinggirnya.

--

Jadi, para mamah, jangan merasa bahwa dirimu nggak pantas istirahat. Kalau ada sebuah peran di dunia ini yang paling butuh liburan, menurut saya ya itu, ibu. Mau bekerja atau tidak, sama saja ribetnya, dan sama saja kebutuhannya.

Jangan pernah merasa bersalah untuk membutuhkan ‘cuti’ dari peran itu. Dan kalau masih ada si Bapak, it’s about time he takes his mind off work and deal with the kids and home issues. Kalau kebetulan tidak ada, mungkin bisa cari support system yang bisa membantu.

It’s good for you, and your children.

Oh kalau masalahnya adalah Pak Suami tidak mengijinkan Anda buat cuti sebentar dari peran itu, untuk pergi sebentar tanpa dia dan/atau anak-anak....wah itu butuh tulisan lain yang mungkin nggak akan pernah saya bikin :D 

(R I R I)

No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts