Wednesday, June 14, 2017

Rejeki orang lain, juga rejeki buat kita



Kemarin, hari yang bikin saya merasa seperti dapat rejeki nomplok.

Banyak sekali teman-teman yang mengabarkan berita baik. 

Anak-anak yang diterima di sekolah-sekolah yang mereka inginkan. Masalah teman yang lumayan berat akhirnya bisa selesai dengan baik. Ada yang sembuh dari sakitnya. Ada yang ketemu dengan barang yang dia sayang sejak kecil.

Kemarin juga hari yang menyenangkan sih buat saya. Bisa berbuka puasa bareng tim kerja yang selalu bikin saya membatin, “Alhamdulillah rasanya kadang nggak cukup gue ucapin karena bisa ketemu dan kerja bareng orang-orang ini”.

Kami nggak punya kantor, tapi punya basecamp. Kemarin juga kali pertama kami semua bisa mengunjungi basecamp yang baru. Bahagia rasanya bisa makan bareng, ketawa bareng, dan berdoa bareng, di tempat baru yang semoga kelak akan jadi tempat yang seru buat kami saling berbagi (kecuali berbagi duit #eeeeh).

Tapi, terlepas dari kebahagiaan pribadi, yang lebih bikin saya merasa dapat rejeki nomplok justru karena semua berita baik dari teman-teman.

Lho kok bisa?.

Nah itu. Kenapa ya kita sering sekali merasa dapat rejeki kalau itu adalah hal baik yang menimpa diri sendiri. Kemarin baru saya tersadar gara-gara perasaan ringan dan bahagia yang saya rasakan setelah baca atau dengar banyak berita baik dari teman-teman saya: eh, this feeling, this light and happy feeling, itu kan rejeki. Artinya, adalah juga rejeki saat kita bisa merasa bahagia karena orang lain dapat rejeki.

Kelihatannya sepele ya?. Padahal, jangan-jangan itu bisa membantu kita menjalani hari dengan lebih baik lho.

Kita pasti sudah kenal juga dengan ini: yang namanya rejeki itu bukan selalu hal besar. Nggak perlu tunggu dapat gaji besar buat merasa punya rejeki. Nggak perlu punya rumah baru, atau mobil baru. Hal-hal sehari-hari yang kita bisa alamipun itu rejeki. Bisa melek di pagi hari, masih bernafas, bisa mendengar, bisa merasakan sentuhan angin pagi di kulit, bisa makan, itu semua kan rejeki.

Tapi namanya manusia ya. Hal-hal yang sehari-hari, yang sudah sering kita jalani, itu kadang malah cenderung bikin kita nggak sensitif lagi. We take those things for granted. Lalu mulailah kita suka merasa hidup ini kok nggak asik. Kenapa gue begini, kenapa gue begitu. Kenapa nggak dapet ini, nggak dapet itu. Lalu, kadang kita malah jadi iri kalau ada teman atau orang lain yang bahagia karena dapat rejeki.

Lha padahal, ya, kalau kita bisa merasakan bahagia karena kebahagiaan orang lain, itu rejekinya buat kita adalah hati jadi ringan. Kita juga jadi bisa senyum atau bahkan ketawa. Dan ketawa atau senyum itu sehat. Otot yang digerakkan banyak. Hormon yang dikeluarkan tubuh juga hormon-hormon baik. Yang mungkin tadinya kita mau flu, bisa jadi batal karena perasaan bahagia itu. Wajah kita jadi cerah. Gimana coba itu bukan rejeki?.

Jadi, mungkin kita harus belajar lagi buat meresapi dan memahami arti rejeki. Di tengah masih saja marak berita yang kurang asik di sekitar kita. Masih saja banyak tuh yang menyebarkan berita gak seru. Masih saja banyak yang sukanya nyinyir. Mungkin kita harus mulai belajar buat mencari ada berita baik apa ya di sekitar kita, lalu, tersenyumlah. 

Rasakanlah rejeki orang lain itu sebagai bentuk rejeki juga buat kita. Rasakan kebahagiaan itu, kehangatan, di hati. Buang rasa iri. Buang jauh-jauh perasaan, “Why not me”, kalau kebetulan itu adalah hal yang kita juga inginkan. Tapi hayati itu sebagai juga rejeki buat kita karena kita juga jadi senang.

Daripada kita selalu merutuki hidup, merutuki segala kejadian dan berita yang nggak asik, rasanya mungkin belajar melakukan itu akan lebih baik, buat semua.

Gimana, bisa kan?.


(R I R I)

Tuesday, June 6, 2017

Masih berharap?...ah…



Setahun lalu, saya terlibat dalam sebuah studi yang buat saya sih menarik banget karena menggali salah satu permasalahan akar rumput. Studi itu membawa saya ke beberapa pelosok di timur Indonesia.

Hasil studi itu lalu dibawa ke sebuah kementrian negara.

Beberapa hari ke depan, sebuah workshop akan dilakukan untuk menindaklanjuti hasil studi itu (ho’oh….setelah setahun….sudah, jangan banyak tanya kenapa butuh waktu selama itu).

Sebagai bagian dari tim yang harus ikut memastikan hasilnya baik (dan baru minggu lalu saya diberi tahu kalau saya harus ikut terlibat dan bukan hanya sebagai presenter hasil studi), saya harus ikut rapat persiapan.   

Rapat dilakukan kemarin, dan tadi pagi.

Setelah selesai rapat tadi, sebelum bubar ya ngobrol dulu lah dengan beberapa orang.

“Ini ada anggota DPR yang tertarik tahu lebih jauh tentang program kita nih mbak”, kata seseorang. Klien saya, “Wah bagus dong. Disuruh ke daerah yang paling bermasalah aja”, sambil menyebutkan daerah X di timur.

“Wah harus dilihat dulu tuh, itu Dapilnya bukan ya”, kata si mbak itu lagi.

Saya sambil mengerenyitkan kening, “Kenapa harus ada urusan dapil mbak?”. Klien saya lebih langsung lagi, “Wah sialan. Jadi masih ada agenda tersembunyi?”.

“Lhooo ya itu harus terkait lah mbak. Mana mau dia ke daerah yang bukan dapilnya”.

Saya penasaran, “Terus biaya dia kesana, siapa yang nanggung?”. “Ya kita lah mbak”. “Hah?, kok enak?, bukannya mereka punya dana buat semua yang berurusan sama dapilnya?”. Si mbak ketawa, “Ah mana mau rugi mereka mbak”.

Klien saya, “Wah sialan banget ya. Itu kan program kita yang bikin, kita yang minta dananya, terus nanti dia yang bisa ngaku-ngaku kalau itu jasanya ya ke calon pemilihnya. Kurang ajar”.

Saya cuma bisa mengutuk dalam hati, dari seribu juta topan badai sampai semua yang lebih kasar dari yang pernah keluar dari mulut Kapten Haddock (untung sedang nggak puasa….).

--

Mungkin terus ada yang bilang gini begitu baca cerita saya di atas, “Yah loe kayak nggak tahu aja”.

Problemnya, bukan karena saya tidak tahu. Saya termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang apatis terhadap DPR sebagai sebuah institusi perwakilan rakyat. Tapi, sejujurnya saya juga masih ingin punya setitik, setitiiiiikkkk saja, nggak perlu besar-besar, harapan bahwa masih ada yang punya niat baik demi rakyat.

Tapi kok ya sepertinya salah ya punya harapan seperti itu.

Cerita tadi pagi itu bikin saya bertanya: katanya kan memang lebih baik tidak berharap pada manusia karena manusia sering mengecewakan. Tapi lalu katanya juga, kita nggak boleh putus asa, putus harapan karena masih selalu ada kemungkinan ada secercah kebaikan di tengah keburukan.

Lalu, gimana dengan cerita itu ya…

Saya masih merasakan darah saya masih mendidih bahkan saat saya menulis semua ini. Saya juga ingin menangis. Menangis karena merasa bego. Merasa bego karena masih punya harapan.

Tapi ya itu, balik lagi, katanya nggak boleh putus harapan.

Ah mbuh. Lingkaran setan yang mungkin memang cuma setan yang paham gimana memutusnya. Berita baiknya mungkin saya belum cukup setan karena sampai sekarang saya masih nggak paham gimana mutusnya.

Sudahlah. Saya makan siang saja, lagi.

Nah....kan.... Tapi, apa masih bisa saya berharap??...
(R I R I)



Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts