Sunday, February 26, 2017

Generasi mertua baru



Sejak baru menikah, kami tinggal di rumah orang tua saya karena ibu saya tinggal sendiri.

Di awal pernikahan, pas banget kami sedang tidak punya pembantu. Tanpa ada kesepakatan apapun, Cip dan saya berbagi pekerjaan rumah tangga dan nggak ada pakemnya siapa harus kerjakan apa. Pokoknya siapa yang bisa ya kerjakan saja.

Hasilnya, saya dulu sering banget kena tegur ibu saya. Sekarang juga masih tapi jauuuh lebih jarang. Mungkin beliau mulai lelah.

“Riri, kok dibiarin sih Cip nyuci piring di belakang”
“Itu kok suami kamu yang ngurusin cucian"
“Kamu gimana sih suami dibiarin bikin mie sendiri, bukannya dibikinin” 

Saya biasanya kalau ditegur begini, saya samperin Cip nanya, “Kamu ngapain sih ngerjain ini?”. Tentunya sambil cengar cengir. Dia dulu suka jawab, “Bilang Mama, santai aja Ma, mantunya aja gak apa-apa kok dicuekin istrinya”, sambil balas cengar cengir.

Lalu kami punya anak. Dan komentar ibu saya juga tidak berhenti.

“Ya ampun masa Cip yang ngebedong Tara, kamu nggak bisa?”. Nyatanya memang dia lebih jago ngebedong bayi. Bedongan saya luluh lantak dalam waktu kurang dari 3 menit. Kalau dia yang bedong pasti tahan.

“Kok Cip yang belanja ke supermarket sih Ri. Kamu emang nggak bisa?”. Dulu karena saya sering sekali harus kejar waktu supaya sampai rumah sebelum jam 6 sore untuk nyusui Tara yang masih ASI eksklusif, kami sepakat sesekali Cip yang belanja ke supermarket setelah saya kasih daftar belanjaannya karena saya nggak sempat. Dan kami nggak suka ke supermarket di akhir pekan. Sesekali itupun akhirnya sempat jadi rutinitas bahkan setelah Tara sudah nggak ng-ASI karena saya nggak suka belanja bulanan. Grocery shopping is just not my forte, I never enjoy it, believe it or not. 

Dan masih banyak printilan lainnya yang dikomentari ibu saya.

Intinya adalah, menurut beliau, ada kompartemen yang khusus istri, ada yang khusus suami. Demikian beliau melihat kehidupan Datuk dan Nenek, dan demikian pula yang beliau terapkan di pernikahannya.

Dengan pakem tersebut, jadilah saya dan Cip terlihat ajaib di mata beliau. Suami kok cuci piring. Suami kok cuci botol susu anak. Suami kok belanja ke supermarket sambil ngegembol si kecil (iya ini juga. Dulu saya sering harus keluar kota atau negeri karena tuntutan kerjaan. Kalau saya nggak ada, Cip kadang ngajak Tara ikut ke supermarket. Dan kesepakatan kami adalah: kalau masih bisa dipegang sendiri, babysitter di rumah saja. Di mata ibu saya ini juga ajaib…).

Tidak ada yang salah dengan hal itu. Saya sama sekali tidak sedang menyalahkan ibu saya. Saya juga nggak kesel dikomentari beliau. Itu ekspresi sayang beliau pada saya. Lagipula, saya harus menerima bahwa every person has grown up and accustomed to beliefs and values that existed in that era.

Ibu saya besar di jaman yang beda dengan saya, dan lalu harus beradaptasi dengan jaman yang berbeda pula. Normal saja.

Tapi memang, saat jaman berganti, pasti akan terjadi friksi antara apa yang kita yakini benar dari hasil pendidikan masa lalu kita, dengan apa yang di jaman yang baru diyakini benar.

--

Di akhir tahun 90an, terutama di kota-kota besar, mulai bergaung sedikit demi sedikit tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam menjalankan peran di rumah tangga. Termasuk, dalam pengasuhan anak.

Mungkin sebagiannya adalah hasil dari makin banyaknya perempuan yang bekerja, sehingga makin dibutuhkan peran serta sang suami untuk mengurus anak-anak dan rumah.

Saya banyak baca artikel yang membahas bahwa saat krisis melanda kita di tahun 1998, perempuan ternyata menjadi tonggak penting di masa itu untuk membangun kembali ekonomi rumah tangga. Dan hasilnya, suamipun jadi makin terlibat dengan urusan rumah tangga. Mungkin sebagiannya tadinya ‘mau nggak mau’. Tapi lama kelamaan jadi menjamur.

Waktu saya kembali ke Jakarta di tahun 1999 setelah 2 tahun numpang hidup di negeri orang, saya sempat kaget juga mulai melihat laki-laki yang belanja ke supermarket. Belanja di lorong sayur. Belanja di lorong susu anak (dan membaca tulisan di kemasan, bukan ngeliatin SPG). Belanja di lorong gula dan tepung. Sebuah pemandangan yang bisa dibilang langka saat saya meninggalkan Jakarta 2 tahun sebelumnya.

Dan sekarang, sudah tidak asing melihat para ayah yang menggendong bayi dengan gendongan bayi. Atau ayah yang makan berduaan dengan balitanya. Atau ayah yang menceracau dengan si bayi dengan bahasa bayi yang lucu (apalagi kalau ayahnya juga ‘lucu’….aduh… #eeehhh). Para ayah yang antar jemput anak ke dan dari sekolah. Ayah yang bacain cerita dari buku My Little Pony pada gadis kecilnya di sebuah kafe. Ayah yang pulang kerja lebih cepat untuk mendampingi si kecil belajar.

Emaknya leyeh-leyeh, ayahnya yang jagain anak-anak.
Di kalangan teman-teman sayapun hal-hal semacam ini sudah tidak asing. Kami, Generation X yang kebetulan jarang banget sekarang diomongin thanks to The Millenials yang katanya nyebelin itu, mengadopsi nilai kesetaraan itu dengan cukup mulus menurut saya.

Friksi kami mungkin memang ada pada saat menghadapi para mertua yang asing dengan hal itu. Asing dengan pemandangan suami masak, atau cuci botol susu, atau gendong bayi dengan gendongan bayi yang melilit itu. Atau bahkan dengan istri yang kerja (or in my case, istri jalan-jalan sendirian…my poor mom rolled her eyes on this one, sorry mom :D), sementara bapaknya ngurusin anak.
--

Pengalaman pribadi, dan melihat fenomena kesetaraan di kalangan teman-teman saya sendiri, suka bikin saya iseng mikir tentang masa depan. Bagaimana nanti, saat anak-anak saya dan mereka yang segenerasi dengan anak-anak saya, berhadapan dengan kami para mertua.

Mungkin komentar saya akan beda sekali dengan komentar-komentar ibu saya. Alih-alih mempertanyakan kenapa suami anak saya yang cuci piring, jangan-jangan malah saya yang nyuruh menantu saya cuci piring dan nyapu rumah sementara saya ngajak anak saya shopping.

Akan sangat menarik untuk menunggu saat itu datang. Oh ya tentunya mikir anak nanti menikah bukan sesuatu yang menyenangkan, sih…gimanapun juga buat saya my babies are still my babies. Membayangkan mereka akan keluar dari rumah menjalani hidupnya sendiri, walaupun harus saya akui ada sisi diri saya yang akan sangat feel liberated, tetap saja akan ada sisi hati yang galau.

But still, to wait how we as a generation become in-laws.  Berdiri di garda belakang nontonin dan mungkin juga akan ngrasani gimana anak-anak kita menjalani kehidupan keluarga mereka, adalah sesuatu yang asik untuk ditunggu.

Oh well…every generation has its growing pains. Saya yakin, generasi anak saya bakal punya cerita unik lain tentang berurusan dengan orang tua atau mertua, yang akan sangat beda dengan apa yang saya alami.

Tapi satu hal yang saya syukuri adalah, banyak dari kita yang sudah belajar buat jadi setara di bawah satu atap. Kita sudah belajar bahwa peran suami bukan cuma nitipin sperma dan ngasih uang belanja. Suami, dan ayah, adalah partner sepanjang jalan selama kita mengemban tanggung jawab sebagai orang tua. Anak, nggak akan jadi hebat, kalau ayah dan ibu nggak saling membantu apapun yang harus dilakukan sejak dia lahir sampai kelak bisa berdiri sendiri.

--

Dan kalau masih ada laki-laki yang kepalanya masih terkotak-kotak dengan, “Ini tugas gue, itu tugas istri gue”, daripada dimarahi, mendingan dibilang gini, “Tahu gak sih, loe tuh jadi desirably sexy and irresistible kalau mau gendong anak, mau nyuapin anak, ngobrol asik berdua anak. Pokoknya ikut ngurusin anak. Macho, ganteng dan sexy bangeeeetttt. Ngurusin anak itu male sexiness redefined".

Masa iya ada laki yang nggak luluh digituin. Itu kan layaknya buah zakarnya dicolek. Betul?.

Ya asal jangan mertua yang ngomong gitu.

(R I R I)

Sunday, February 19, 2017

Belajar dari tragedi



Setelah seminggu yang lumayan bikin otak capek, dan sebuah Sabtu yang lumayan bikin kaki pegel, saya memutuskan malam minggu akan saya habiskan dengan berteman dengan kasur dan bantal.

Pilihan buat baca buku saya alihkan dengan nonton film. Bongkar-bongkar Netflix, ketemu film yang dulu nggak sempat saya tonton. The Boy in the Striped Pajamas.

--
Di-release tahun 2008, film ini dibuat berdasarkan sebuah novel karya John Boyne berjudul sama. Novel yang diilhami oleh sejarah kamp konsentrasi di masa Nazi.

Film ini bercerita tentang pertemanan antara Bruno (yang dimainkan bagus banget oleh Asa Butterfield, mungkin ada yang lebih ingat dia main dalam film Ender’s Game) anak seorang tentara Jerman, dengan Shmuel (dimainkan oleh Jack Scanlon, yang juga keren banget mainnya) seorang anak Yahudi yang tinggal di kamp konsentrasi.

Bruno dan keluarganya harus pindah dari Berlin ke pinggiran Jerman karena sang ayah ditugaskan kesana. Dari jendela kamar di rumah baru mereka, Bruno melihat sebuah ‘pertanian’ dengan orang-orang yang menurut dia aneh karena semua mengenakan piyama.

Dia sangat ingin berkunjung ke pertanian itu dengan harapan bisa menemukan anak lain untuk diajak main karena dia bosan dan kesepian di rumah besar mereka. Tapi orang tua Bruno melarang dia untuk kesana.

To cut the story short, Bruno menemukan cara untuk pergi ke tempat itu dan berteman dengan Shmuel.

Dari sinilah cerita yang bergulir berkali-kali bikin saya menghela napas karena tiba-tiba hati terasa berat. It all felt so real, karena kepolosan anak-anak selalu menyuarakan kejujuran.

Misalnya saja ini:



Shmuel: I wish you'd remembered the chocolate.


Bruno: Yes, I'm sorry. I know! Perhaps you can come and have supper with us sometime.

Shmuel: I can't, can I? Because of this.

[points the electric fence]

Bruno: But that's to stop the animals getting out, isn't it?

Shmuel: Animals? No, it's to stop people getting out.

Bruno: Are you not allowed out? Why? What have you done?

Shmuel: I'm a Jew.


  

Belakangan, Bruno belajar apa artinya menjadi Yahudi dari tutor yang didatangkan orang tuanya ke rumah, Herr Liszt, yang mulai menanamkan paham-paham ultra-nasionalis dan anti-Semit.

Dan kecuali ibunya, semua orang di sekitarnya memberikan pesan yang sama. Bahwa Yahudi memang pantas untuk disakiti, karena mereka, “Dangerous, vermin and evil”, dibahasakan oleh kakak perempuan Bruno.

Bahwa bangsa Yahudi, “They are not people. They are less than people”, kata ayahnya.

Bahkan di satu sesi belajar, saat Bruno bertanya pada Herr Liszt setelah beberapa kali menemui Shmuel tanpa sepengetahuan siapapun, “There is such thing as a nice Jew, though, isn't there?”. Jawaban tutornya membuatnya makin bingung, “I think, Bruno, if you ever found a nice Jew, you would be the best explorer in the world”.

--

The world is a wonder in every children’s eyes. Dan ‘eyes’ disini bukan cuma berarti mata, tapi setiap indrawi dan rasa mereka.

Menonton film ini, saya jadi bertanya: dunia macam apa yang akan mereka punya di benak mereka saat ada banyak orang dewasa yang menanamkan begitu banyak kebencian terhadap manusia lainnya?.

Saya jadi terpikir apa yang terjadi belakangan ini. Not just in the past month, tapi sejak 2 – 3 tahun yang lalu.

Saling cerca. Saling maki. Saling merasa benar. Dan…semua belajar jadi Tuhan dan menganggap punya hak menghakimi yang lainnya semata karena merasa benar. Mungkin juga, termasuk saya.

Oh kita bisa saja bilang, “Anak gue kan nggak baca semua itu”. Atau, “Itu kan cuma kalau sama temen, tapi kan sama anak nggak”.

Really?. Saat kita para orang tua selalu mengeluh betapa sering anak mengakses gadget?. With or without us, mereka bisa mengakses informasi dari mana saja sekarang.

Atau bahkan, apakah kita tahu apa yang mereka dapatkan di sekolah atau lingkungan lainnya?. Baik itu dari teman, dari petugas di kantin, bahkan, dari guru?.

Minggu lalu Lila cerita kalau dia dilarang gurunya main dengan anak laki. Saya tanya dia, kenapa?. Dia bilang dia nggak tahu. Saya bilang dia lain kali kalau dilarang, tanya kenapa nggak boleh. Karena dalam logika saya kenapa nggak boleh main dengan anak laki?. In her age, it is very important to play with everyone supaya dia tahu apa bedanya dan juga apa persamaannya jadi perempuan dibanding jadi laki-laki.

Ini cuma contoh. Larangan yang mungkin buat orang tua lain sepele dan hal kecil. Tapi tidak buat saya. Kelihatannya kecil tapi kalau nggak diusut alasannya dan anak paham kenapa, buat saya itu tidak sepele.

Kalau mengaitkan itu dengan kejadian akhir-akhir ini, bisa saja kita berkelit bahwa yang terjadi terutama saat ini di negeri ini, tidak sebanding dengan sebuah tragedi kemanusiaan macam the holocaust itu. Kecil, kok, nggak masif. But get this: semua yang besar berawal dari sesuatu yang kecil. Ya kan?. Lha kita semua ini kan asalnya juga kecil banget, dari sel sperma dan sel telur yang bertemu. Can you get smaller than a cell?.

Tapi entah apakah ada yang sadar bahwa yang kecil jika dipelihara lama-lama akan tumbuh. Dan jujur saja saya ngeri mengamati yang terjadi sekarang.

Sadarkah kita apa yang sedang kita pelihara?. Paling tidak dalam diri kita sendiri. Menanamkan kebencian pada kaum lain. OK mungkin kebencian terlalu kasar, ketidaksukaan deh. Apakah itu satu saat tidak akan terlontar keluar saat kita ngobrol dengan anak?, atau kelihatan dari perilaku kita?. Dan amat naif kalau kita masih berpikir anak kita terlindung dari yang demikian.

Saat anak terhadapkan pada informasi yang bernada kebencian, eh ketidaksukaan, apapun bentuknya. Dan sejumlah orang dewasa dengan congkaknya berteriak-teriak di sekitar mereka. Belagak jadi Tuhan. What kind of a world are they going to craft in their mind?. Apa yang akan mereka pikirkan tentang manusia lainnya?. Kita sedang membuat generasi yang seperti apa, sih?.

Sering saya membatin, does the world need that much hatred?, do we?. Amat mudah mengajarkan kebencian, teman, tapi sulit untuk mengajarkan kelembutan dan empati sehingga kita bisa jadi manusia yang MANUSIAWI pada manusia lainnya. Nah, pusing gak lo?.

--

Tragedi selalu punya 1001 sisi untuk dibahas. Dia juga punya 1001 sisi untuk bikin kita belajar tentang apa maknanya jadi manusia.

Beberapa orang mungkin menyebut karya-karya yang didasarkan pada berbagai tragedi kemanusiaan sebagai sesuatu yang disturbing, dark. Saya melihatnya sebagai jendela buat melihat ke dalam diri kita masing-masing dan bertanya: am I prepared to become a better human being by admitting that those dark forces lie within us and we have to keep on fighting them so the world can be a better place for all.

Maukah kita mengakuinya?. Dan, mampukah kita menahan diri dari godaan yang bisa membuat semua dark forces itu keluar dari jiwa dan menjadikan kita monster?. Demi sebuah dunia yang lebih baik buat anak dan cucu kita.

Oh ada juga bagian dari film itu yang bikin saya merasa dicubit. Saat nenek Bruno meninggal, dan mereka berdoa di pemakaman, saya jadi mikir. How do you face God when you have consciously hate other people?. Saat kita yang ada di liang kubur, gimana kita akan mempertanggung jawabkan sentimen kita terhadap manusia lain kelak pada Si Pencipta?. Sang Maha yang telah meletakkan kita di bumi sebagai sejumlah manusia yang berbeda-beda. What will we tell God about how we have behaved to one another?. 

Silahkan bertanya pada diri masing-masing.

Selamat berhari Minggu. Maaf, kadang-kadang memang saya semuak ini pada lunturnya kemanusiaan. Dan kadang-kadang saya semenyebalkan ini bikin tulisan yang mengganggu pikiran, bahkan di hari Minggu.

(R I R I)



Sunday, February 12, 2017

Mempertahankan cinta



Baru hari ini saya sempat nonton La La Land yang sudah dibahas kanan kiri. Komentar yang saya baca, kayaknya banyak sekali seputar baper gara-gara kedua tokoh film ini memilih untuk berpisah demi mengejar impian masing-masing.

Tara bahkan cerita ada temennya yang nangis nonton ini gara-gara, “Sedih banget filmnya katanya”.

Tapi mungkin pada dasarnya saya memang suka cerita tragedi, makin banyak yang baper saya malah makin penasaran apa sih ceritanya. Dan, saya suka musikal. Buat saya segala garapan musikal patut ditonton karena ini sesuatu yang tidak linier. Ada olah suara, olah tubuh, dan segala olah lainnya yang kalau mau dipikir gimana bikinnya kok ya super njelimet. Bikin film biasa aja udah njelimet, apalagi film musikal.

Dan, betul, saya terpukau.

--

Yang main jelas lah keren. Literally cantik dan ganteng (Ryan Gosling gitu loh…hadeuh…plus main piano….hadeuh…). Mainnya juga bagus banget. Alur cerita yang mengalir halus banget – nggak ada sepenggalanpun film itu yang bikin saya pengen ngalihin mata ke tempat lain. Menyihir, mengikat, bikin betah.

Cerita tentang cinta yang harus patah tengah jalan karena persimpangan mimpi. Buat saya itu nggak bikin baper sih. Malah rasanya itu realistis sekali: when you think your feet can take you somewhere much further if your heart is not tied to someone or something, then might as well free yourself up so you can move faster. Nggak mudah memang. Tapi yah siapa sih yang pernah menjanjikan hidup bakal mudah?. Apalagi kalau sudah berurusan dengan hati.

Saya malah terkesan dengan cerita tentang cinta Sebastian pada jazz. Jazz yang murni, seperti akarnya di New Orleans dulu saat karena kendala bahasa orang nggak bisa ngobrol tapi malah menemukan musik untuk menyatukan mereka. Jazz yang berubah setiap saat dimainkan, penuh improvisasi, setiap pemain punya hak tampil dengan caranya dan alatnya sendiri.

Betapa keukeuhnya dia harus punya jazz club di sebuah klub samba-tapas, sampai rela tiap pagi nongkrong minum kopi di depan tempat itu, ngebayangin one day it may become his. Dan kalau dia bisa bikin klub itu, dia juga keukeuh bahwa hanya jazz yang murni yang akan dimainkan disitu.

Dia tahu jazz seperti yang dia cintai itu makin lama makin pudar cahayanya, terancam punah. Tapi justru karena itu dia yakin dia harus mempertahankannya dengan caranya sendiri.

Tapi memang, dia kere. Main dari satu klub ke klub lainnya, yang dia yakini punya pakem yang sama dengan dia, nggak bikin dia makin dekat dengan mimpinya. 

Lalu dia ketemu Keith, teman lama yang ngajak dia main dalam jazz band yang dibentuk Keith. Awalnya dia menolak. Tapi karena dia pikir Mia, pacarnya, ingin dia lebih sukses, akhirnya dia memutuskan untuk bergabung dengan Keith demi mendapatkan uang.

Dan disini saya suka banget dengan konfliknya.

Saya suka dengan perbincangan Keith dan Sebastian di latihan pertama mereka, “You are better than any players here but you are a pain in the ass”. 

Keith yang memasukkan unsur electronic dance ke dalam aransemennya, yang buat Sebastian adalah dosa besar untuk pakem jazz yang dia cintai. Sementara dari kacamata Keith, jazz tidak akan selamat kalau tidak berevolusi, jika tidak bisa menarik minat anak muda. Jazz di klub yang dicintai Sebastian cuma didatangi orang tua. 

“You want to be revolutionary, but you stay traditional”.  Itu, menurut saya keren banget. Dan, bener banget terutama buat jaman sekarang.

Coba saja lihat sekitar kita. Banyak hal yang kalau kita menolak buat berevolusi seiring jaman, pasti akan punah. Batik, contohnya. Ada masanya batik dianggap sakral tapi juga dianggap cuma cocok untuk orang tua.

Lalu, batik pelan-pelan beradaptasi. Model baju batik mulai beragam. Lalu dibuat tas beraneka bentuk dan cara aplikasi. Dibuat jadi aksesoris yang lucu. Bahkan di alat rumah tangga. Tiba-tiba semua orang jadi cinta batik. Padahal bisa jadi sebelumnya mau pakaipun tidak, kecuali mungkin sebagai daster atau baju kondangan.

Persis seperti yang dikatakan Keith. Mau revolusioner, mau mengubah atau mempertahankan sesuatu, tapi mikirnya tetap harus tradisional ya ruwet.

--

Kita boleh saja cinta pada sesuatu – apapun itu dari profesi sampai hobi, tapi lalu bukan berarti kita harus keukeuh dengan bentuk ‘dasar’ sesuatu itu. Mempertahankan cinta terhadap apapun itu seringkali tidak salah, tapi cara mengekspresikannya agar tetap relevan dengan jaman yang mungkin perlu ditelaah. Jangan-jangan memang perlu ada sedikit (atau banyak, tergantung apa yang kita pertahankan), adaptasi agar dia jadi bisa diterima dalam konteks masa kini. Apalagi kalau ada urusannya dengan cari penghasilan dari situ.

Tapi ya itu juga harus dikembalikan ke diri kita masing-masing. Yang kita cari apa?. Kalau mau dapat hasil yang lebih baik (alias hepeng lebih lancar), menurut saya evolusi itu penting sekali. Kalau hanya cari kepuasan emosional, uang sedikit ya nggak apa-apa tapi ada kepuasan dengan mempertahankan yang tradisional itu, ya monggo. 

Semua ada konsekuensinya, dan tentunya butuh pemikiran yang berbeda.

--

Dan, gara-gara cerita cinta Seb pada jazz ini, sementara orang lain baper karena Mia dan Sebastian putus, saya malah baper karena lalu terpikir gimana supaya profesi yang saya cintai bisa berevolusi. Dan gimana saya bisa berevolusi sebagai pribadi supaya tetap relevan di dunia yang terus berubah.

Mari menyambut hari Senin. 

Yang satu realistis, satu idealis. Mau jadi yang mana? - tergantung mau mencapai apa kita. Tapi jangan-jangan, selalu ada jalan tengah.



(R I R I)

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts