Sunday, January 22, 2017

Melihatmu, Tidur..



Salah satu aktivitas yang paling saya nikmati sehari-hari adalah mengawasi anak saya ketika ia sudah atau masih lelap tertidur, kapanpun itu: pagi, menjelang terbit mentari, saat bobok siang, atau malam hari.  Hal sederhana, tapi memuat banyak makna buat saya, yaitu hal-hal yang barangkali paling dasar, dan bisa jadi, paling penting buat hidup: keintiman keluarga, perasaan damai, masa kanak-kanak yang tanpa beban, yang mengingatkan saya pada masa kecil saya sendiri, yang -- walau serba kekurangan, tapi – penuh kebahagiaan, sekaligus harapan akan masa depan. Ya, karena anak-anak dalam asuhan, pada dasarnya adalah pesan dan harapan kita bagi masa depan. 

Sore itu, Jumat menjelang akhir pekan, seharusnya saya nongkrong di salah satu mall di Jakarta, menemui teman-teman kuliah di Bandung dulu. Grup whatsapp sudah ramai semenjak beberapa hari sebelumnya: kapan, dimana, jam berapa. Kedengaran sangat asyik dan bersemangat. Tapi entah mengapa, tetiba saya rindu pulang cepat, sampai di rumah cepat, dan membuang waktu cuma-cuma bersama orang-orang rumah. Buat saya, sekedar merasakan kehadiran mereka di sekitar, sembari masing-masing sibuk mengerjakan keasyikan sendiri-sendiri, adalah kebahagiaan yang tercukupkan.

Saya memohon pamit lewat pesan pendek di gawai, bersambut kekecewaan teman-teman. Tapi saya memang sedang punya kebutuhan lain. Kebutuhan untuk menyambungkan diri pada apa yang sudah saya punyai – keluarga – yang selalu terasa lepas, terasa sepintas-sepintas, selalu merucut dari genggaman, karena beban sehari-hari dan kesibukan.

Sore itu, saya beruntung untuk sampai di pagar rumah hanya dalam dua puluh menit dari kantor, tepat saat maghrib menyerah pada malam gelap, berpapasan dengan mereka yang berduyun keluar dari masjid, usai menunaikan sholat. Yes! Saya punya waktu panjang sebelum anak-anak tertidur.

Tapi saya mendapati rumah sangat lengang.

Tara, anak sulung saya, sedang tenggelam membaca novel, menanti guru ngajinya di kamar bawah. Riri masih berkutat dengan laptopnya di meja kerja di kamar utama kami, di lantai atas rumah. Dan Lila, bungsu kami berusia lima tahun, terbaring bobok di kasur, di seberang meja kerja Riri, semenjak menjelang petang, setelah seharian kecapean field trip dengan teman-temannya.

Sadar diri kalau saya tidak bisa mengganggu aktivitas dua yang lain, setelah bebersih saya memilih rebahan di sisi Lila, memandangi dia yang bobok dengan damai. Melirik Riri yang masih serius menatap layar laptopnya, tenggelam dalam deadline, saya meraup gawai, memasang earphone, memilih lagu-lagu kesukaan saya untuk menemani sleep-watching saya.  Satu dua lagu, tak lama saya tenggelam dalam kedamaian saya sendiri, sembari menikmati salah satu pemandangan yang paling saya sukai: wajah Lila saat tidur.

Lalu saya tertumbuk pada lagu ini, Inshallah. Lintasan kesembilan, satu dari tiga litasan terbaik, dari album baru Sting, 57th and 9th, yang dirilis November kemarin. Bercerita tentang perasaan putus asa sekaligus harapan seorang ibu yang erat memeluk anaknya, melarikan diri dari Syria yang porak-poranda oleh perang kepentingan yang mengatasnamakan agama. Antara hidup dan mati, kapal pengungsian, didera oleh dahsyatnya gelombang laut Mediterania yang memisahkan masa lalu yang luluh lantak dan masa depan tanpa kepastian.


Sleeping child, on my shoulder,
Those around us, curse the sea.
Anxious mother turning fearful,
Who can blame her, blaming me?

Inshallah, Inshallah,
If it be your will, it shall come to pass.
Inshallah, Inshallah,
If it be your will…

Sea of worries, sea of fears,
In our country, only tears.
In our future there's no past,
If it be your will, it shall come to pass.

Inshallah, Inshallah,
If it be your will, it shall come to pass.
Inshallah, Inshallah,
If it be your will…

Meski sound Inshaallah sendiri terdengar demikan indah, sementara di depan mata, saya terpapar oleh keindahan kecil yang lain, tetap saja horror yang dialami oleh jutaan keluarga dan anak-anak Syria, membanjir memenuhi kepala saya. Saya mengalami kontras momen yang mungkin paling aneh yang bisa dirasakan pada saat bersamaan: saya merasakan surga – pada keindahan musik, pada nafas teratur dan kedamaian di wajah Lila -- dan membayangkan neraka di saat yang sama. Tentang Syria yang porak-poranda jiwa dan raganya.

Now, debat agama, debat politik tentang Syria mungkin akan menghabiskan puluhan ribu halaman, saat ditulis. Tapi itu tidak penting lagi. Apapun keyakinanmu, itu tak penting lagi. Semuanya telah terjadi. Untuk kita yang tinggal di negeri damai ini, apa yang bisa kita pelajari? Apa yang bisa kita hikmati? Bagaimana itu bisa dihindari?

Meresapi rasa damai pemberian Tuhan, atau salaam dalam bahasa Arab, seketika saya sadar, di atas semua ideologi dan kepentingan, di atas semua konsep tentang Tuhan dan kebenaran, tidak ada yang lebih berharga ketimbang melihat damai di wajah anak yang tertidur tanpa beban, tanpa ketakutan, tanpa rasa lapar, tanpa bunyi mesiu yang menggelegar. Tidak ada yang lebih penting dari melihat damai dan keterpenuhan, untuk semua anak! Untuk semua anak!.



(C I P)







No comments:

Post a Comment

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts