Thursday, September 8, 2016

Beda generasi, atau, telat berubah?




Akhirnya kesampaian juga saya nonton film Tiga Dara yang direstorasi.

Mengingat film ini dibuat tahun 1957, ‘baru’ 12 tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, saya jujur saja punya bias terhadap kehidupan masa itu. Sebagiannya dari cerita-cerita orang tua, sebagian lagi sebetulnya rekaan otak saya saja sebagai orang yang hidup jauuuh setelah masa itu.

Di bayangan saya, tutur kata si tiga dara dalam film ini pasti yang modelnya masih lemah lembut pada orang tua. Nggak ada tuh bantah-bantahan dengan orang tua – apalagi dengan nenek. Bapaknya pasti tipe yang cuek banget, nggak bisa diajak ngobrol, nggak bisa diajak kolaborasi dan kompromi.

Dengan segala asumsi itu, semalam saya nonton. Dan amat sangat menikmati filmnya. Dan ada rasa bangga juga dengar lagu-lagu gubahan almarhum om saya yang nggak pernah sempat saya kenal, Saiful Bahri.

Selesai nonton, saya malah jadi mikir ini: apa iya sih tiap generasi itu berbeda?.

--

Nonton film ini terus terang buat saya feelingnya ya seperti nonton interaksi antara orang tua dengan anak jaman sekarang saja. Ketiga dara ini sangat open bicara pada ayahnya, bahkan pada neneknya. Nggak mau ya bilang nggak mau. Nggak suka ya bilang nggak suka. Mau ganggu ayah atau neneknya ya diganggu aja. Nggak ada sungkan. Nggak ada batas-batas yang tadinya di kepala saya pasti kaku banget lah.

Nah nggak tau ya apakah memang karena ini film. Tapi salah satu yang bikin saya suka nonton film adalah karena percaya bahwa film menggambarkan sebagian kenyataan dalam masyarakat. Pasti ada bumbunya, tapi saya selalu percaya kalau mau merasakan sebagian denyut suatu masyarakat, nonton lah filmnya.

Film-film Eropa misalnya, selalu terkesan pabeulit. Ada segmen cerita ini, lalu cerita itu, lalu cerita anu, tapi tahu-tahu nanti muaranya satu. Entah gimana ntar pokoknya pasti saling nyambung. Dan...umumnya akhir ceritanya bikin melongo. Entah melongo karena aduuuh ampuuuunn tragisnya (tapi ya hidup memang tragis...piye...), atau melongo karena oalaaah ngono tooooh, atau melongo karena aduh kok ya begitu ya bagusnya (yang ini biasanya karena pemandangannya).

Itu buat saya menggambarkan Eropa yang multidimensi, beragam, dan dihantui masa lalu yang sebetulnya tragis gara-gara Hitler dan saya percaya itu mempengaruhi bagaimana orang Eropa memandang hidup.  

Nah film Tiga Dara kurang lebih buat saya menggambarkan jiwa di masa itu. Indonesia yang sedang membangun, sedang semangat. Filmnya terasa sekali energi positifnya – bahkan dengan topik yang buat perempuan kayak saya yang ngerasain dirasani orang karena umur 30 belum juga menikah, bikin gemes...hahaha. Neneknya pengen ‘tak pites.

Tapi yang saya nikmati sekali adalah bagaimana film ini membuka mata saya tentang interaksi ortu dan anak di masa itu. Ternyata ya, di jaman apapun, kelakuan anak ke ortu ya sama aja kok: ngebantah juga, ngeyel juga. Dan di film itu digambarkan ngebantahnya ya sama aja dengan saya dulu, atau Tara sekarang. Bapaknya juga walaupun sibuk tapi ternyata seru – bisa diajak kompromi dan kolaborasi demi kedamaian kakak beradik itu.

Tapi setelah nonton film itu semalam saya jadi ingin tahu juga sih: jangan-jangan model interaksi seperti itu belum lazim sebetulnya di jaman itu. Jangan-jangan film itu bikin heboh di jamannya karena mendobrak pakem. Nah saya belum sempat browsing tuh. Dan nggak tahu juga apakah ada cerita-cerita tentang bagaimana film yang sangat sukses di jamannya ini, mempengaruhi pandangan masyarakat kala itu.

--
That aside, kita kan suka ngomel ya, “Anak sekarang blablablabla....”. Dan blablabla itu beragam dari dimensi yang positif sampai negatif. Dari yang makin pinter dan kreatif sampai makin kurang ajar dan nggak tahu adat.

Tapi nonton film semalam saya jadi mikir: jangan-jangan itu ketidakadilan penilaian buat generasi selanjutnya. Mungkin iya benar bahwa konteks kehidupan berubah, sarana yang mengelilinginya berubah, sehingga pasti ada sisi-sisi perilaku yang berubah. Tapi jangan-jangan yang kita tuduhkan pada mereka juga tidak benar.

Jangan-jangan kita yang TERLAMBAT berubah. Kita yang masih gagap meningkahi semua perubahan. Masih pakai kacamata lama untuk melihat sesuatu yang sudah jauh berbeda. Jadi alih-alih menyalahkan generasi selanjutnya, jangan-jangan kita yang harus berhenti menilai mereka dan mulai menilai diri sendiri: sudahkah saya paham apa yang sedang terjadi dengan dunia?, dan dengan itu paham bagaimana saya harus beradaptasi?.

--
PR besar, itu: memahami bagaimana kita harus berubah. Karena itu terjadi dengan alami buat anak-anak kita – mereka sedang tumbuh dan besar bersama perubahan itu. Lha kita, gimana nih. Jadi sebetulnya, sama seperti pesan yang saya tangkap dari film Tiga Dara itu adalah, bagaimana kita sebagai orang tua mau mengikuti perubahan yang sedang dialami anak-anak kita. 

Termasuk menghargai setiap pengaruh perubahan itu pada perilaku mereka – selama itu baik. Dan menggiring mereka ke koridor yang baik DAN SESUAI DENGAN PERUBAHAN JAMAN, saat kita merasa arah mereka mulai melenceng. Definisi melenceng pun jangan-jangan harus dikalibrasi juga setiap kali jaman berubah.

Saya sih bisa nulis gini. Pada prakteknya, masih berjuang. Sama sekali tidak mudah. Butuh waktu-waktu dimana saya harus diam dan kontemplasi, terutama saat saya marah pada anak-anak. Lalu bertanya: adilkah saya marah?, is it them or me who was wrong in thinking that they are wrong to be like that?. Ah kadang malah bikin gemes sama diri sendiri.

Mari kita belajar bersama. Semoga kita bisa jadi orang tua yang lebih baik dan lebih ‘change friendly’ :)

(R I R I)


Tuesday, September 6, 2016

Jadi yang biasa aja



Yang butuh cuti adalah mereka yang baru saja cuti. 

Itu selalu berlaku di hidup saya kayaknya. Entah karena yang namanya Murphy’s Law itu benar adanya, atau ya memang itu cuma cara hidup menyeimbangkan keadaan: setelah senang tibalah susah, dan sebaliknya. 

Tanpa bermaksud mengeluh, minggu lalu rasanya berat sekali saya lewati. Padahal baru saja libur. Dan setelah Senin dan Selasa yang juga nggak semudah yang saya kira, baru rasanya ada sedikit waktu buat napas dan berhenti sejenak (ho’oh...padahal wiken rasanya baru kemarin...). 

Dan mungkin saya memang ibu yang sedikit abnormal. Sudah ada di rumah sejak jam 6, saya memang tidak segera cari anak-anak. Yang saya cari adalah kamar dan ketenangan dan kesendirian. Saat sebentar dimana saya bisa sekedar berbaring, memejamkan mata tidak untuk tidur, tapi untuk membiarkan otak saya mengembara kemana-mana.  

Pengembaraan otak saya sore tadi bermuara di satu topik: keadaan ‘biasa aja’, rata-rata, tidak istimewa tapi juga tidak gagal. Topik yang mengganggu saya sejak tadi pagi. 

Ini semua mungkin separonya gara-gara saya sedang baper. 

Sudah September!. Bukan cuma itu, udah lewat tahun ke-5!. Dan saya merasa yang saya lakukan sedang jalan di tempat. Perusahaan yang dibilang rugi ya nggak (alhamdulillah), tapi mau dibilang berkembang ya nggak juga – dia jalan di tempat. 

Not a bad position to be, sih, saya akui. Masih bisa menggaji 8 orang pegawai itu bagaimanapun juga sangat saya syukuri. Tapi bagaimanapun juga, kadang saya nggak bisa menghindari pertanyaan klasik itu: mau dibawa kemana lagi?. 

--

Susah ya kadang-kadang tahu emang kita masih bisa stretch?. Atau juga ini: emang kalau kita lebarkan lagi, kita paksa meluaskan diri, kita sanggup?. Lalu apa konsekuensinya?. 

Saya pernah kerja di perusahaan asing, dimana target selalu dibawa naik-naik ke puncak gunung. Sampai kadang bikin saya bingung ini yang bikin target memang sedang ingin naik gunung atau lagi hang over sehingga dia kira dia burung yang bisa terbang tinggi, tinggi sekali. 

Saya terbiasa dipertanyakan: kenapa cuma segini, apa lagi yang bisa dilakukan; dan saya selalu merasa terpojok dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. 

Saya selalu kembali pada pertanyaan yang sama: emang kenapa dengan yang sekarang?, kan udah naik, walaupun nggak ke puncak gunung?. Menurut loe orang-orang ini belum kerja sekeras yang loe mau?. Dan biasanya diskusi itu akan berakhir dengan saya yang menyerah berargumen dan cuma bisa bilang: OK now what do you want us to do?. Dan di akhir tahun saya mengirimkan surat cinta yang gegap gempita tanpa sensor sebagai catatan akhir tahun pada bos saya. Cuma buat memuaskan rasa kesal saya saja sih. Dan sedikit harapan saya di-PHK karena terlalu kurang ajar. Tapi sayang saya nggak pernah seberuntung itu walaupun sudah cari gara-gara. 

Saya muak dengan keadaan itu setelah 4 tahun – setelah saya merasa cukup sampai disini saya belajar untuk dipecut dan menahan ngilu karena pecutan. Lalu memutuskan untuk keluar dari lingkaran setan itu.

--

Sekian tahun sesudahnya. Disinilah saya. Di persimpangan itu: mau jadi yang ‘biasa aja’, atau mau dibawa lari lebih kencang lagi?.

Sejak kecil saya rasanya sudah selalu menargetkan diri untuk jadi yang ‘biasa aja’. 

Juara kelas nggak pernah. Juara perlombaan apapun nggak pernah. Saya juara cuma waktu les nari Bali – beberapa kali jadi murid terbaik di tingkatan tari tertentu. Tapi itu juga saya nggak pernah anggap luar biasa – karena saya suka jadi buat saya lumrah saja saya jadi yang terbaik lha wong emang saya suka banget kok. Ajaran almarhum Papa adalah itu: kalau kamu suka buktikan dengan memberikan hasil yang baik.

Tapi sampai sekarang rasanya saya memang nggak pernah niat sampai jungkir balik untuk jadi yang terbaik atau untuk jadi ‘yang tidak biasa-biasa aja’. Semua saya biarkan mengalir. Dan, I never had any problem with that.

Until now.

Mungkin ini juga pertanyaan klasik para wirausaha: mau digedein, atau segini aja?. Kalau digedein, mau segede apa?. Kalau mau dibawa lari, mau seistimewa apa?. Dalam industri dimana the impossible triangle (murah, cepat dan bagus – go figure...) masih sering digunakan untuk membeli jasa, mau gimana supaya tidak bisa dipaksa mengikuti segitiga peyot itu?.

Pening kepala saya mikirinnya. Dan tetap saja saya nggak tahu jawabannya apa. 

Kalau mau jujur kadang-kadang ada keinginan untuk satu waktu saya berhenti melakukan ini (terus yang baca dan kenal saya panas dingin nggak ya....hahahaha...). Cuma lalu ada pertanyaan lain: terus mau ngapain?. Nulis buku cerita anak – ide yang bagus, tapi masalahnya saya juga nggak kreatif-kreatif banget. Jadi travel agent? – ah terlalu pusing ngurusin orang.

--
Aaaand as a consolation to myself, saya mengakhiri pengembaraan otak saya tadi dengan ini: apa sih yang tidak biasa saat di atas langit masih ada langit, di atas yang bagus masih ada yang lebih bagus?. Mau dikejar sampai mana?. Kan sekarang walaupun biasa aja tapi loe baik-baik aja. You still have a life. You can still enjoy your other hobbies. You can still enjoy being a mother of two. Jadi yaaa....it’s OK lah to be mediocre. Untuk tidak jadi ‘sesuatu’, hanya salah satu dari sekian pemain.

Saya tahu banget mikir seperti itu artinya minta dimarahin oleh salah satu rekanan bisnis saya: gilak...mikirnya kayak gitu mah gak maju-maju.

Ah entahlah. Sekarang saya mau bilang it’s OK to be mediocre. Cause without us, there are no stars :) (jadi ceritanya saya minggir, supaya yang lain bisa jadi bintang...that sounds to be a good excuse for now...supaya saya bisa tidur nyenyak malam ini).


There's rainbow after the rain...there are pots of gold at the end of every rainbow... 
#edisibapergalaudikuartalakhirtahunini

(R I R I)

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts