Wednesday, June 8, 2016

Karena ibadah bukan matematika



Waktu saya sudah 30 tahun dan belum juga ada tanda-tanda akan menikah, punya pacarpun nggak, ibu saya sempat gelisah. Tapi dari awal saya sudah bilang pada beliau tolong jangan ngenalin saya pada anak temannya yang manapun karena saya nggak mau diatur-atur, dan saya nggak mau nanti ngerasa nggak enak cuma gara-gara nolak anak temannya kalau nggak cocok. 

Karena anaknya yang ini emang bengil, ibu saya cari jurus lain. Beliau minta nasehat pada salah satu ustadnya, dan hasilnya memberikan saya sehelai kertas yang isinya sederet amalan untuk dilakukan setelah sholat, yang katanya dapat memperlancar datangnya jodoh. 

Saya baca kertas itu. Dengan kerutan di kening. Semuanya serba 1000. Baca ini 1000, itu 1000 dan seterusnya. 

Saya nggak punya masalah dengan angkanya. Saya nggak punya masalah dengan berapa lama saya harus lakukan itu setiap habis sholat.  Yang saya pertanyakan: kenapa harus 1000?. Kalau 100 aja emang nggak dateng tu jodoh?. Kalau saya korting apa yang terjadi?, jadi terhambatkah?. 

Atau: kalau saya nggak amalkan apa iya Tuhan segitu judesnya lalu menghambat jodoh saya?. Padahal Dia sudah berjanji bahwa rejeki, jodoh, hidup dan mati adalah 4 perkara yang menjadi kuasaNya dan akan Dia berikan pada saat yang tepat. Lha kalau saya udah berbusa lakukan semuanya 1000 tapi belum waktunya, yo opo karepe?. Mau bilang apa saya?. 

Akhirnya karena saya tetap tidak yakin dengan angka 1000 itu, tapi rasanya wirid itu kok bagus sekali, saya tetap lakukan tapi dengan jumlah semau saya. Kadang bahkan saya nggak hitung. Kalau capek dengan ucapan yang satu saya pindah ke ucapan yang lain, seenak hati saya. Lha ya saya yakin kok Tuhan nggak peduli dengan jumlahnya, tapi apakah saat melakukannya hati saya terhubung dengan Dia, rasanya itu yang lebih penting. Yaaa kayak orang PDKT ajalah. Mau diajak ngobrol berapa lama juga, kalau nggak nyambung ya udah, nggak nyambung aja. Itu logika saya.

Dan saya juga melakukannya bukan dengan tujuan melancarkan jodoh. Yaelah ye, udah 30 tahun sendirian, ya udahlah yaw. Kalau ada jodoh saya di luar sana alhamdulillah. Tapi kalau kata Tuhan saya lebih baik berjalan sendiri, ya mau bilang apa saya?. Saya melakukan amalan itu untuk menguatkan hati dan batin saya aja, biar nggak karatan, diisi dengan yang baik-baik kan nggak ada salahnya. 

Dan saat akhirnya saya menikah, saya nggak pernah mikir itu gara-gara saya melakukan amalan itu. Ya mungkin karena Tuhan sudah memutuskan saya sudah cukup pantas jadi istri saat itu lalu dipertemukanlah saya dengan seorang lelaki yang mampu bikin hati saya yakin. As simple as that.

--

Waktu bergulir tapi hati saya tetap terusik dengan urusan jumlah angka dan amalan. Kenapa harus ada sekian puluh atau ratus atau ribu kali?. Siapa yang menentukan harus segitu?. Kalau berdasarkan sejarah, apa konteksnya saat itu?. Begitu terus. 

Akhirnya saya menemukan jawabannya yang jujur sekarang saya lupa apakah itu saya bertanya pada seseorang atau karena baca sebuah buku. Tapi intinya begini. 

Setiap ibadah dan amalan itu bisa jadi kita lakukan pada saat hati belum pada saat yang tepat. Misalnya, sudah waktunya sholat dzuhur tapi report belum kelar. Sholatnya buru-buru deh supaya bisa balik ke laptop, yang penting kewajiban kelar (ehem....ini, gue banget deh kadang-kadang. Maaf ya Allah...). 

Atau kita wirid, mengucap setiap kalimat suci, tapi hati entah ada dimana. Padahal, itu tadi: tujuan ibadah dan setiap amalan itu kan untuk menetapkan hati kita pada Dia. Membentuk koneksi yang sukur-sukur abadi. Memperkuat iman. Memperkuat batin. Meyakinkan diri bahwa hanya Dia tempat kita bisa bergantung dan berharap. 

Jadi kenapa ada angka, ada hitungan untuk amalan-amalan itu?. Jawaban yang saya temukan dan buat saya masuk akal, adalah jangan-jangan di awal-awal, hati kita belum ‘konek’. Ibaratnya sinyal hape sebuah provider yang tidak akan saya sebutkan namanya disini daripada kena UU ITE, kekuatan sinyalnya kalau di daerah pinggiran minta ampun bikin gemesnya saking ‘kuat’nya atau malah ngilang. Makin menuju ke kota besar, makin nambah garis sinyal, kuat dan stabil. 

Begitu juga dengan amalan itu. Makin banyak kita menyebutkan, maka mudah-mudahan hatipun makin terbawa, makin kuat kita merasakan kehadiran Sang Pencipta dalam hati, dimana Dia selalu bersemayam tapi kadang-kadang kita kelewat ndablek untuk mampir dan menyadarinya. 

Akhirnya buat saya itu cukup masuk akal. Tapi tetap saja sih, sampai sekarang saya tidak menemukan jawaban kenapa ada angka tertentu. Mungkin memang ada dalilnya, saya jujur tidak terlalu tertarik juga untuk tahu karena sekali lagi nggak penting jumlahnya, yang penting adalah koneksi hati saat melakukannya. 

--

Setelah itu terjawab, lalu ada satu pertanyaan lagi yang terpicu gara-gara banyak sekali mondar mandir di media sosial akhir-akhir ini: kenapa harus ada unsur hasil atau pahala dari amalan. Misalnya: kalau menyebutkan x sebanyak 100 kali, y – 100 kali, z – 100 kali, maka rejeki akan lancar. Atau ya contoh amalan perlancar jodoh itulah. Ngarep, kalau mau pakai kata yang kekinian.

Dulu, waktu saya masih kecil dan belum sotoy, saya nggak mikirin. Ya seneng aja dong, lha ya kalau saya lakukan dapat imbalan kan katanya, siapa yang nggak seneng. 

Tapi lama kelamaan, seiring dengan peningkatan kesotoyan dan jumlah uban, saya mulai bertanya-tanya. Kenapa sih ibadah dan amalan diperlakukan seperti kita memperlakukan matematika, 100x + 100y + 100z = rejeki lancar maneh kayak jalan tol (eh padahal jalan tol aja macet...). 

Itu malah bikin saya takut. Saya takut, lama-lama kita lupa pada esensi bahwa setiap ucapan yang telah diciptakan dengan begitu indahnya oleh Sang Pencipta adalah untuk memujaNya, menguatkan cinta kita padaNya. Period. 

Urusan nanti mau dapat apa, lha sapa yang tahu?. Itu kan urusan Dia. Dia mau kasih atau tidak, murni hak Tuhan yang tidak bisa diatur-atur oleh siapapun. Apa lah kita ini, yang bisa dengan semena-mena (maaf, menurut logika saya yang suka ngawur dan pendek ini ada sedikit unsur semena-mena dalam urusan ngarep ini), ngatur dan nuntut Dia bahwa: saya sudah lakukan ini anu itu sekian puluh/ratus/ribu kali jadi saya pantas dapat imbalan.

Lha saya juga takut nanti malah terjadi penggugatan terhadap Tuhan: gila nih, gue udah lakukan 100x + 100y + 100z tapi mana imbalan gue, manaaaaa....manaaaa...kapan gue terima imbalan gue?!... (macam anak kecil ngambek). 

--

Mungkin saya yang terlalu sotoy, tapi kok rasanya kalau mau wirid, ya wirid ajalah. Kalau mau melakukan sebuah ibadah, ya lakukan aja. Kalau mau berbuat baik, ya berbuat baik aja. Do good for goodness sake. Kan berbuat baik atau wiridan atau melakukan apapun amalan itu kan membuat hati kita nyaman dan tenang kan?. Apa itu saja tidak cukup?. Kenapa harus ‘membebani’ Tuhan dengan harapan kita dapat sesuatu dari melakukan itu semua?. Tuhan kan juga bukan guru matematika yang harus ngecek apakah hitungan kita sudah benar atau belum. 

Nggak lagi sok alim sih saya, lha emang nggak alim sih. Saya juga nulis ya nulis aja, nggak pake buka Quran atau dalil apapun (terus ntar diomelin ahlinya...hehehe...ya wes, nasib kalau itu terjadi). Tapi sudah lama sekali saya ingin menggugat urusan jumlah dan harapan imbalan atau pahala dalam beribadah atau melakukan amalan apapun. 

Kasihanilah diri sendiri dengan tidak berharap imbalan dalam berhubungan dengan Tuhan selain untuk mendekatkan diri padaNya. 

Dan jika kita  yakin Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, mari kita persembahkan setiap ibadah dan amalan hanya buat memperkuat batin. Dengan rajin menyebut namaNya dan memuji-mujaNya, semoga hati kita akan selalu terhubung padaNya. Urusan nanti itu akan memberikan hasil apa, ya serahkan dan percayakan saja pada Dia. Just do, and forget about what the outcome will be.  

Selamat menunaikan ibadah Ramadan. Semoga kita berhenti berhitung saat beribadah, karena berhitung itu hanya perlu saat berhubungan dengan uang. Semoga di bulan penuh rahmat ini kita bisa semakin belajar untuk nggak sekedar mengejar pahala, tapi membangun kekuatan batin, yang jauh lebih penting artinya untuk menghadapi hidup yang makin ribet ini. 

(R I R I)

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts