Saturday, January 30, 2016

Kejutan



Tahun lalu, saya pernah cerita kalau tahu-tahu saya menemukan benjolan di payudara kiri saya, dan setelah dicek kelihatannya tidak berbahaya. Dokter waktu itu menyarankan saya cek 3 bulan lagi, karena yang ‘kelihatannya tidak berbahaya’ itu bisa saja tahu-tahu melucu dan jadi berbahaya.

Beberapa minggu lalu, saya cek lagi. Dan, cerita yang sama berulang: hasil USG sepertinya tidak berbahaya. Tapi juga tidak bisa dipastikan karena letak si benjolan yang di daerah lemak sehingga hasilnyapun tidak terlalu jelas. Dokter Radiologi sempat bilang, “Kalau saya sih ya Bu, saya akan milih buang aja. Ini jelas tumor kalau dari bentuknya. Sepertinya benign. Tapi, karena tidak jelas begini, daripada beresiko ke depannya, lebih baik dibuang. Tapi ya nanti gimana diagnosa dokter onkologinya ya Bu. Saya tidak punya wewenang untuk memutuskan”.

Dengan ketidakpastian itu, sekali lagi, saya ketemu dengan dokter onkologi. Jujur saja saya sebetulnya sudah cenderung untuk memutuskan dibuang saja. Karena ini sudah saya simpan setahun. Untungnya tidak makin besar walaupun juga tidak mengecil. Artinya dia diam-diam saja disitu. Tapi rasanya kok ya seperti menyimpan musuh dalam selimut kalau saya diamkan.

Anyway, dokter onkologi pun AKHIRNYA dengan tegas menyarankan supaya dibuang saja benjolan ini. “Mumpung ini baru 1 senti. Bisa aja kita biarin karena ini memang kelihatannya benign. Ibu jaga makan, jaga stres. Dan cek tiap tiga bulan. Tapi kalau kita tahu sejak dini itu bisa dibuang supaya tidak berkembang, ya kenapa harus dibiarin toh?”.

Dan dokter menjelaskan ini hanya operasi kecil, sehari sesudahnya saya boleh pulang. Dan saya pribadi, mengingat ini akan jadi kali ke-9 saya dioperasi (iya...rekor dalam keluarga memang, tiap kali saya harus masuk rumah sakit pasti gara-gara harus dioperasi...entah kenapa...), PD aja lah. Sounded easier daripada operasi yang sudah-sudah yang biasanya makan waktu 3 hari di rumah sakit.

So be it. Akhirnya hari operasi ditentukan. 27 Januari. Sepertinya ini kado ulang tahun yang terlambat dari hidup yang saya nggak tahu berapa panjang atau pendek ini...haha.

Tapi ada sesuatu yang mungkin saat dijelaskan, informasi itu saya simpan jauuuuuuhhhh di belakang kepala saya.

Dokter juga menjelaskan bahwa segera setelah benjolan dikeluarkan, akan dilakukan serangkaian tes patologi untuk cek apakah itu jinak atau ganas. Jika ganas, maka setelah operasi, akan ditentukan tindakan selanjutnya yang bisa saja berupa radiotherapy atau chemotherapy tergantung stadium keganasannya.

Saya dengar penjelasan itu. Jelas. Terang. Tapi entah gimana, saya nggak simpan di kepala. Atau mungkin juga entah gimana, ada sesuatu dalam hati dan kepala saya yang bilang, “You’ll be just fine. This will be over soon. Kan hasil-hasil tes lain udah jelas nunjukin nggak ada apa-apa”. Dengan itu, saya santai.

Tapi sepertinya saya terlalu santai.

--

Operasi jam 2 siang. Sekitar jam 5 saya kembali ke ruang rawat inap.

Saya bangun, Cip di sebelah saya. Saya heran lihat gimana Cip memandang saya lama sebelum cerita apa hasil operasinya. Ternyata ada 3 benjolan. Yang jelas tumor hanya 1. 2 lagi cuma lemak yang mengeras. Dokter juga menelusuri sampai ke kelenjar di ketiak untuk memastikan tidak ada jejak-jejak apapun disitu. Dan hasilnya clear. All clear. Hasil patologi juga memastikan tumornya jinak.

Cip ceritakan semua itu dengan runut dan tenang. Tapi saya tahu matanya. Saya kenal ada apa di mata itu. Hampir 15 tahun menikah dengan orang yang nggak banyak omong ini bikin saya cukup kenal dengan air muka dan isi matanya. Ada kelegaan luar biasa disitu. Sesuatu yang saya lihat pertama kali hampir 12 tahun yang lalu setelah saya selesai dioperasi cesar saat melahirkan Tara.

Bukan cuma kelegaan bahwa operasi sudah berakhir. Tapi bahwa saya baik-baik saja. Bahwa (insya Allah) cerita tidak akan ada sambungannya dan kami akan baik-baik saja. 

Disitu saya baru sadar. Eh buset, implikasi operasi ini kelihatannya saya anggap enteng banget. Saya pun lupa ada orang-orang terkasih yang justru lebih stres daripada saya nunggu hasilnya. Dan saya juga lupa bahwa tanpa mereka, nggak mungkin saya juga bisa sesantai itu menjalani operasi.

--

Hidup itu penuh dengan kejutan. Ada yang manis, ada yang sedikit kecut, ada yang kecut banget, ada yang super pahit.

Pulang dari rumah sakit, Cip bilang, “Kita beruntung. Kalau masih ada kelanjutan dari operasi ini, it’s a totally different ball game. Aku nggak tahu akan sekuat apa kita. Aku nggak tahu gimana harus ngadepinnya”. 

And that’s very true. Nggak ada yang pernah bisa memprediksi sekuat apa kita sebetulnya menghadapi peperangan. Peperangan melawan ketakutan dalam diri sendiri. Because at the end of the day it’s always a fight with yourself. Dan itu adalah kejutan yang paling nggak menyenangkan, menurut saya. Super pahit.

Alhamdulillah Tuhan juga berjanji bahwa Dia tidak akan menimpakan sesuatu yang tidak akan sanggup kita pikul. So I guess, Tuhan sekali lagi menunjukkan kasih sayangnya dengan memberikan kejutan yang masih bisa kami hadapi bersama.

Entah apa lagi kejutan yang akan harus kami hadapi di depan. One thing for sure, selalu ada jaring-jaring kasih sayang yang menguatkan. Dari Tuhan, dan dari orang-orang terkasih sekeliling kita. I am forever grateful for their existence.. 


R I R I

(kejutan lain yang nggak penting adalah ‘operasi kecil’ ini meninggalkan 3 bekas jahitan, dan berhari-hari tidak bisa mandi di udara yang sumuk ini. OK sip. Rasanya saya juga belajar untuk menerima kejutan dari setiap operasi, sekecil apapun dia. Karena badan nggak bisa diatur :D)

Thursday, January 14, 2016

We're not scared....we're too tough to be scared...

17 Juli 2009. Bom di JW Marriott merobekkan Jakarta. Merobek Indonesia. Sekali lagi. Setelah sebelumnya tahun 2002 ada bom di Bali.

Saya ingat betul setelah peristiwa bom di Marriott itu saya menulis sebuah note pendek karena jengkel.

Waktu itu, harusnya, Manchester United datang ke Indonesia. Gara-gara bom, hilang sudah kesempatan Indonesia tertera, lagi, di peta dunia. Saya masih ingat perasaan saya waktu itu: sedih, marah. Padahal saya bukan penggemar sepak bola. Tapi yaelah...mau didatangi MU gitu looohhh...bangga dong. Tahu-tahu ada sekelompok orang tolol yang egois yang berpikir tindakan mereka bisa bikin nama mereka nampang di layar berita dan bisa lebih ngetop dibanding MU.

Dini hari di tanggal 18 Juli, Cip minta ijin untuk keluar rumah. Dia lalu nongkrong di Starbucks Thamrin. Lalu dia menulis ini  http://paragraflepas.blogspot.co.id/2009/07/0215-dinihari-starbuck-thamrin-dan-bom.html.

Hari ini, Jakarta dirobek lagi. Ironisnya, kali ini, bom meledak tepat di tempat dimana Cip menuliskan ‘kekagumannya’ pada daya tahan orang Jakarta, yang cuma dalam hitungan beberapa jam, life continued as usual di kafe yang jadi salah satu ikon kemajuan hidup (dan kemapanan, to some extent). Hidup memang penuh kejutan. 

--

Saat kejadian, saya kebetulan sedang berada tidak jauh sebetulnya dari gedung Sarinah. Saya sedang di sebuah kafe di Grand Indonesia. Lalu tiba-tiba, ada berita bertubi-tubi masuk dari berbagai WA group di hape saya.

Awalnya, saya tidak percaya. Lama-lama, membaca setiap berita yang masuk, tangan saya makin dingin. Jantung saya berdebar. Saya ingin menangis kuat-kuat (dan akhirnya saya menulis ini sambil meneteskan berbutir-butir air mata).

Saya tidak takut. Saya sedih. Saya marah. Marah bukan main. Another bomb?, and you think you can cripple us with fear?. Oh Mr. and Ms. (bukan tidak mungkin kan ada perempuan yang terlibat?) Terrorist, think again.

Betul bahwa saya kesal membayangkan apa pula efeknya bom ini pada keadaan ekonomi. Tahun lalu saja bisnis sudah gonjang ganjing. Baru mau mulai optimis, tahu-tahu ada lagi kelompok orang tolol yang pengen ngetop. Yang entah karena ideologi tolol apa mereka pikir tindakan mereka adalah tindakan yang mulia. Bahwa membunuh sekelompok orang yang tidak berdosa itu wajar saja demi mencapai ideologi tolol mereka. 

Terlepas dari kekesalan itu, saya merasakan marah luar biasa pada sekelompok pengecut yang harus mengandalkan diri pada bom dan timah panas untuk menghasilkan rasa takut. Cara paling mudah, memang. Tapi rasanya, itu sebuah bukti bahwa kita memang tidak bisa underestimate kebodohan manusia-manusia tertentu.

Mereka pasti nggak belajar sejarah dengan benar. Sehingga lupa bahwa ini adalah negara yang harus mendapatkan kemerdekaannya melalui bertahun-tahun perjuangan. Entah sudah berapa bom dan timah panas yang harus dihadapi nenek moyang, bahkan kakek dan nenek kita (sampai generasi saya harusnya nenek dan kakeknya masih ikut berjuang dulu). 

Lupa kalau kita pernah survive dengan sangat baik di krisis hebat tahun 1998. Tahun lalu walaupun megap-megap tapi kita juga survive. 

Lupa juga kalau ini adalah negara yang penuh dengan manusia yang cerdas, dan humoris. Yang dengan cepat menghasilkan meme-meme lucu yang bikin orang ketawa walaupun degdegan belum hilang. 




Mungkin ada yang bilang jangan bercanda tentang keadaan seperti ini. Tapi jujur saja, menurut saya, ITU YANG SELALU DAN SELALU DAN LAGI DAN LAGI MENYELAMATKAN INDONESIA!. Potong kuping gue kalo nggak. 

Bayangkan aja kalau orang Indonesia ini pemurung, fatalistis. Matek. Mungkin sembuhnya lama banget dari kejadian-kejadian seperti ini. Tapi nggak, kita memilih untuk tetap ketawa, walaupun tanpa melupakan bahwa ada PR besar di depan nih gara-gara kejadian ini. Tapi sebagian besar dari kita tetap memilih untuk tertawa dan melangkah, secepat itu, dalam hitungan jam. 

--

Saya selalu yakin, good humour, friendship, compassion, yang ada dalam jiwa orang Indonesia, will prevail. Dan akan selalu menyelamatkan kita dari keadaan sekelam apapun. We've proven that, again and again!. 

Itu yang dilihat Cip tanggal 18 Juli 2009 jam 2.15 dini hari, hanya beberapa jam setelah pemboman Marriott. Sebuah kafe yang tetap terisi pengunjung, walaupun para pelayannya bilang turun drastis dibanding biasanya. Tapi tetap, ada yang milih duduk-duduk di kafe dan menikmati dini hari!. Persetan dengan bom dan teroris.

Sekarang ini saya ingin sekali bilang di muka para teroris itu: FUCK YOU!, you don’t scare us!. Kita sudah teruji!. 




#IndonesiaKuat #Indonesiatidaktakut 

(R I R I)

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts