Thursday, October 29, 2015

Bikin Anakmu Bangga



Seumur hidup, saya nggak pernah punya target dalam kerjaan. Beneran. Ajaran orang tua saya cuma: cari kerjaan yang kamu suka jadi kamu nggak menderita walaupun harus lembur, jujur, dan kerja sebaik kamu bisa jangan mikir dulu hasilnya gimana. Kalau rejeki kamu ada disitu, you’ll get what you deserve. 

Jadi, seperti kebanyakan hal dalam hidup saya, saya jalani pekerjaan saya seperti air yang mengalir. Yang saya perjuangkan waktu lulus kuliah terutama pesan orang tua yang pertama: cari yang kamu suka. Alhamdulillah, jalan itu terbuka. Alhasil, sampai sekarang saya tetap di bidang yang sama yang saya tahu saya bakal betah kerja disitu. 

Tapi 11 tahun yang lalu, saya sempat goyah. 

--

Saya mencintai pekerjaan saya sebagai consumer and market researcher. Saya seneng kepo-in konsumen. Saya seneng kerja bareng klien mengupas masalah pemasaran yang mereka hadapi. Dan 11 tahun lalu, saya juga menikmati tempat kerja saya. Dan saya seneng banget kerja sama bos saya – saya belajar banyak dari dia. Menurut saya, kami adalah tim yang kuat. Sampai tahu-tahu, bos saya ini memutuskan untuk berhenti. Dan, mengajukan nama saya sebagai penggantinya pada para petinggi di Singapura sana. 

Saya cuma bisa melongo waktu dia menyampaikan hal itu pada saya dengan muka lempengnya. 

Saya masih ingat kejadiannya. Waktu itu saya masih cuti melahirkan. Gendut. Bau susu. Berdaster. Bos saya menjenguk ke rumah. Kami duduk di teras rumah saya. Dan jeng jeeeng...tahu-tahu seperti dikasih bom. Rasanya, saat itu dunia saya gonjang ganjing. Gempa setempat.

Saya hampir berteriak pada dia waktu bilang, “Loe gila apa?, gue bisa apa?, gue nggak mungkin gantiin elooo. Kalo loe resign, gue resign!”. Eh dia malah ketawa. “Bisa lah. Loe kan udah di tim ini dari sejak awal, loe tahu semuanya dari A sampai Z”. Waktu itu pengen saya cakar dia... 

Malam itu, saya cerita pada Cip. Saya cerita kekhawatiran saya. 

Katakanlah para petinggi itu cukup nggak waras untuk percaya pada saya untuk duduk di posisi kunci itu, emang saya bisa?. Plus, saya baru melahirkan. Kami menunggu 2 tahun untuk punya Tara. 2 tahun yang panjang, dengan 6 bulan yang menyebalkan untuk segala terapi dokter, sebelum akhirnya saya ngambek dan malah tahu-tahu hamil. 

Terus, apa jadinya kalau saya di posisi itu. 

Bayangan saya, jadi GM lalu MD, kan nggak gampang. Ngurusin orang. Ngurusin angka ngejar target jualan (OMG...this I was really frightened of). Belum lagi tarik ulur dengan regional, global dan tetek bengek lainnya. Benang kusut. Itu yang ada di kepala saya. 

Nah terus gimana dengan ngurusin anak dong?. Belum apa-apa saya sudah merasa bersalah pada Tara. Gimana benerannya. Saya takut sekali pikiran saya tersita oleh pekerjaan benang kusut itu. Gimana Tara... Lha kerjaan yang saya sudah pegang saja pasti sudah menyita waktu. Gimana kalau harus ngerjain lebih dari itu... 

Saya ceritakan semuanya pada Cip. Saya tanya, “Aku harus gimana. Aku pengen keluar aja”. 

Cip, dengerin semuanya dengan gayanya yang biasa: muka lempeng tanpa ekspresi. Selesai saya cerita (yang padahal udah siap mau nangis karena bingung banget), dia nanya, “Apa yang kamu takutin sih. Kan kamu nggak sendirian Ri. Ngurusin Tara juga nggak sendirian, ada aku. Di kantor kamu punya tim".

Saya diam. Namanya takut ya takut aja keleeeuuusss...biar kata rame-rame juga.

Tapi ‘wejangan’ Cip berikutnya yang bikin saya berpikir ulang. 

Intinya: you have a daughter, make her proud to be your daughter and TO BE A WOMAN. Show her that a woman can be on top even when she’s married and just had a baby. Show her what a woman is made of. Show her that a woman has strength. Ambil pekerjaan itu demi supaya anakmu bisa bilang satu hari nanti: bundaku bisa lho, jadi aku juga harus bisa. Bikin dia bangga – akan dirinya, dan akan bundanya. Dan: ajari dia untuk jadi perempuan yang kuat, seperti bunda.

Dan dia juga bilang betapa jadi perempuan di dunia itu nggak mudah. Apalagi jadi perempuan bekerja, dan seorang ibu. Kalau bukan bundanya sendiri yang nunjukin kalau perempuan bisa jadi apa saja yang dia mau asal usaha sekuat dia bisa, siapa lagi. 

That shut me up. Completely. Dan membuat saya melongo. And a decision was made.

Sebulan kemudian saya terbang ke Singapura menghadapi panel para petinggi. Dan ternyata mereka memang cukup nggak waras untuk percaya pada saya.

And 11 years from then, here I am. 

--

Beberapa hari lalu Tara ribut tentang tugas Bahasa Inggrisnya: harus bikin monolog tentang an extraordinary person. Saya ikut bantu cari. Menyarankan sejumlah nama, yang semuanya perempuan (saya memang minta dia supaya cerita tentang tokoh perempuan). Tapi rupanya dia belum juga menentukan pilihannya.

Sampai lalu suatu malam, “Bunda, aku mau bunda aja deh yang aku jadiin monolog”. 

Saya kaget. “Haah?, tapi kak, aku kan nggak extraordinary. Achievement ku kan cuma punya anak dua yang manis-manis aja”.

Kata-kata Tara berikutnya bikin saya hampir menangis, “Ah bunda, jangan nyela diri sendiri gitu dong. Bikin company itu kan achievement”. 

Penutup Tara di script-nya tentang saya, yang akhirnya betul-betul bikin saya menangis:

My mom is special because she works very hard, but she always has time for me and my sister. She always supports me. She is the best mom I can ever have.
--

Apakah dia sudah bangga pada Ibunya? – saya nggak nanya, dan itu nggak penting...yang penting dia tahu saya tidak pernah jauh dari dia. That’s what matters now.

Dan yang akan bikin anak akan bangga pada orang tuanya jangan-jangan memang bukan pencapaian kita. Tapi, seberapa banyak di tengah hiruk pikuknya kehidupan, kita tetap ada di sisi mereka - mendengarkan, menemani, mendukung. Presence, is still the greatest gift we can ever give to our children. 

--

Beberapa hari setelahnya, Cip, “Kan aku yang saranin dia supaya bikinnya tentang bundanya aja”. Ah...

Betul, kita memang harus bertanya: sudahkah kita bikin anak kita bangga pada kita?... Karena anak selalu punya keinginan ingin bikin orang tuanya bangga... But, have we done the same?


(R I R I)

Tuesday, October 27, 2015

Menggawangi Anak



Hari Minggu lalu, sebagai bagian dari kerjaan, saya ngintilin seorang konsumen dari pagi sampai sore. Usianya 23 tahun, cowok. Baru kerja hampir 2 tahun. 

Kami mulai ngobrol di rumahnya. Dalam panjang lebar ngobrol, saya sempat tanya apakah dia merokok. Dia jawab nggak. 

Dari rumahnya kami ke kafe karena dia bakal hangout dengan teman-temannya. Sampai disana, dia bilang, “Diluar aja ya mbak, biar bisa ngerokok”. Lah. Kagetlah saya. Saya bilang, “Tadi loe bilang loe nggak ngerokok”. Dia sambil ketawa, “Ya kalau di rumah harus keliatan baek lah mbak. Gue benernya nggak boleh ngerokok ama nyokap karena asma. Tapi yaaa...kalau udah diluar rumah badung nggak apa-apalah”. 

Lalu dia cerita juga tentang gimana dia memperlakukan adiknya yang juga laki-laki, “Gue bilang ama adek gue juga gitu, loe silahkan badung tapi jangan bawa ke rumah. Loe mau ngebo’at, silahkan asal jangan jadi junkie. Mau mabok sana asal pulang ke rumah loe udah waras. Mau tidur ama cewek mana juga terserah asal pulang jangan bawa piala yang bisa ngomong, gue hajar loe kalo sampe kejadian”. 

Wah. Menarik tuh prinsip: it’s OK to be bad outside, but when you’re at home, be good.

Saya nggak tahu sih apakah banyak anak muda yang mikirnya kayak gitu. Dulu waktu saya masih mudaan dikit (which baru yaaahhh 5 – 6 tahun lalu...cekakaaaakkkk...), rasanya sih ada sisi itu pada saya. 

Saya yang memang relatif lebih jahil dan nekat dibanding kakak saya yang manis itu, memang rasanya selalu punya strategi supaya orang tua saya nggak tahu betapa sintingnya saya, kadang-kadang. Cuma ya saya nggak pernah ‘mendefinisikannya’ sejernih dan sejelas si cowok itu. 

Lalu ada lagi cerita dari dia, bahwa saking dia bandelnya waktu SMA, orang tuanya melarang dia untuk sekolah ke luar kota. Sementara adiknya, sekarang kuliah di Malang. 

Sebelumnya, beberapa hari sebelum kerjaan ini, saya juga ngobrol dengan teman saya yang lain yang juga punya 2 anak. Dia cerita tentang anak keduanya yang menurut dia lebih nekat, suka bikin aturan sendiri, selalu ngeles kalau dibilangin. Dengerin cerita dia, saya membatin, “Lah kok kayak gue dan si Lila ya...” (Lila itu anak saya yang kedua, yang lebih sering bikin saya speechless padahal baru 4 tahun).  

Teman saya ini juga bilang bahwa dia kayaknya nggak akan ngelepas anak keduanya ini sekolah ke luar kota karena nggak kebayang nanti gimana kelakuannya kalau jauh dari orang tua yang bisa memonitor. 

Wah, kok mirip ya: kalo badung, jangan dilepas dari rumah. 

Saya lalu jadi inget waktu lulus SMA, milih sekolah untuk kuliah. Jaman itu harus ikut Sipenmaru. Saya ikut yang IPC – yang boleh pilih program IPS dan IPA. Urutan sekolah yang saya pilih waktu itu: FKUI (gaya banget...padahal sih tahu pasti nggak tembus), FK-Unpad, dan terakhir, FPsikologi-UI. 

Saya masih inget banget tuh komentar kakak saya, “Jangan sampe loe keterima di Unpad...jadi apa loe kalo sendirian di Bandung. Pasti bengalnya makin jadi”. Dan saya juga inget ibu saya waktu itu cuma ketawa tapi matanya mengamini kata-kata kakak saya. Saya cuma bisa merengut (karena jujur saat itu saya pengen banget keluar rumah – pengen tahu apa rasanya hidup sendiri, emang gue bisa survive kalo gak ada nyokap bokap deket gue?...gitu).

Dan tampaknya mestakung (baca: semesta mendukung) kakak dan ibu saya, saya diterima di UI. Saya keluarin jurus lain: minta boleh ngekos di Depok. 

Wuidih. Belum juga lengkap alasan saya minta boleh ngekos, ibu saya udah duluan membombardir dengan macam-macam alasan untuk bilang, “Nggak usah”. Kakak saya nambahin. Bapak saya, seperti biasa, cuma diam (he was always my ally...saya tahu tuh beliau mau aja mengiyakan, tapi emang enak dicerewetin dua perempuan lainnya?...hihi...kasian deh).  

Dan alhasil, saya ngendon di rumah sampai kuliah kelar. Sampai akhirnya sekian tahun setelah itu saya ambil S2 dan AKHIRNYAAA, I was free to try to live on my own. 

Apakah waktu itu saya badung? – hahahaa...yaiya laaahh...rugi udah tinggal sekian mil jauhnya terus saya nggak badung. Tapi toh saya baik-baik saja. Kuliah kelar dengan nilai yang tidak memalukan dan tepat waktu. That was my proof bahwa saya bisa kok dipercaya tinggal sendirian. 

--

Cerita-cerita tadi itu bikin saya mikir: sejauh mana ya harusnya sebagai orang tua kita ‘menggawangi’ anak?. Ngejaga mereka in the name of their own safety and future?.

Saya juga cerita ke Cip soal ini. Komentar dia menarik juga, “Lho kalau nggak dibiarin anak lepas dari kita, gimana mereka mau belajar untuk ngontrol dirinya dong. Dia bandel harusnya nggak jadi alasan untuk ngebiarin anak belajar kan?”. 

Saya juga inget dulu dia pernah bilang kalau orang tua ragu melepas anaknya untuk melakukan sesuatu, itu artinya si ortu juga ragu dong sama dirinya sendiri. Ragu bahwa apa yang mereka sudah ajarkan itu tertanam di benak anak, ragu apakah AJARAN MEREKA sebagai orang tua bisa dipercaya untuk anak bisa menjaga dirinya sendiri. Eh makjleb. Bener juga ya (sambil garuk kepala yang tak gatal).

Naaahhh saya belum tahu nih jawabnya apa, apa tindakan yang paling benar. Anak saya belum sampai di tahap dimana mereka bakal memberontak. Saya masih punya 2 – 3 tahun lagi mungkin untuk ngadepin ‘tsunami emosi’ dan pertengkaran-pertengkaran klasik antara remaja dan ortunya.
Dan nggak tahu juga apa nanti anak-anak akan mengadopsi prinsip it’s OK to be bad outside but be good at home. Dan apakah saya akan cukup canggih untuk ‘membaui’ kelakuan mereka. Let’s see...let’s see...saya masih harus mengasah insting :)


(R I R I)

Friday, October 16, 2015

Terdampar, dan Tertampar



Ini malam terakhir kami di Istanbul. Sudah seminggu kami kelayapan di kota ini, dan beberapa tempat diluar kota. 

Ini perjalanan yang sempat kesandung, hampir saja batal karena beberapa alasan. Salah satunya: ibu kami khawatir melepas dua anak perempuannya kelayapan di negeri yang menurut beliau berbahaya. Rupanya, berita-berita ISIS, adanya WNI yang hilang entah diculik atau melenyapkan diri disini untuk bergabung dengan ISIS, dan ada cerita anak temannya yang sempat hilang beberapa hari, membuat beliau khawatir luar biasa. 

Iya. Umur kami memang sudah kepala 4. Saya sudah punya anak 2. Salah satunya hampir remaja. Tapi yaaa namanya mamak-mamak susah untuk tidak khawatir. Tapi saya nggak akan cerita tentang drama jadi mamak (yang saya rasakan siiih...adakalanya saya ingiiin waktu sesekali berhenti supaya anak-anak tidak cepat besar...hiks...). 

Anyway, seperti biasa kami percaya insya Allah akan baik-baik saja asal tetap eling lan waspada. Jadi sudah, berangkatlah kami. 

Begitu kami tiba, needless to say Istanbul was mind-boggling. Kota ini besaaaarrr. Penduduknya 14 juta jiwa. Straddling between Europe and Asia. Dengan gang-gang kecilnya. Dengan kepadatannya. Dengan ketidakteraturan tapi juga teratur – nah bingung kan?. To top it off: dengan keterbatasan bahasa. Kami nggak ngerti bahasa Turki, pastinya, mereka juga terbatas sekali bahasa Inggrisnya. 

Tapi...ada yang selalu menyelamatkan kami: kebaikan hati. 

Saat pusing di pinggir jalan nyari di Google Maps dimana letak sebuah gedung, tahu-tahu ada shopkeeper nyamperin (yang tadinya saya cuekin karena setelah beberapa hari disini, ada satu hal tentang pria Turki: selain ganteng, mereka doyaaan merayu...jadi mendingan usaha sendiri dulu sebelum nanya terus malah mereka ngerayu). Dia nanya, “What are you looking for?”, dengan bahasa Inggris yang sangat bagus (not to mention ganteng juga...hadeuh...salah fokus melulu deh pokoknya disini). Saya bilang lagi cari kantor pos. Dan dia nunjukin jalannya. Dan kami nggak dirayu supaya mampir di tokonya. 

Di saat lain, kami naik bis keluar kota. Tahu-tahu pak ‘kenek’ (kelewat keren sih dibilang kenek wong berseragam rapi kok yaaa...), lewat bawa nampan isi kue. Kami nggak ambil karena kami pikir harus bayar. Kakak saya tanya pada ibu di sebelah kami dan dia yang akhirnya jelasin kalau semua gratis: kue, air, Coke...you name it. Si ibu panggil si Kenek Keren (nggak yang ini nggak ganteng, tapi kan kasian dibilang kenek ngebayangin kayak yang di Jakarta...beda banget soale), supaya dia bawain lagi kuenya buat kami.

Ibu yang sama pula yang nolongin kami waktu tahu-tahu bis berhenti, lalu ada tentara bersenapan masuk. Panik dong. Ternyata pengecekan identitas. Makin panik, karena baru sadar paspor kami semua ada di hotel. Ibu itu yang nolong jelasin ke si tentara bahwa kami turis, dan ke kota ini hanya untuk berkunjung sehari lalu balik ke Istanbul di hari yang sama. Selameettt... (pake deg-degan setengah modar....pake senapan boookkk...serius benerrr). 

Di stasiun, saat kami sadar jumlah uang di Istanbul Card (ini kartu yang bisa dipakai untuk naik trem, kereta, dan ferry) sudah menipis, kami ke mesinnya untuk nambah kredit. Karena nggak ngerti gimana caranya, dan ya pastinya lah instruksinya dalam bahasa Turki dan nggak ada bahasa Inggrisnya, kami berdiri di belakang seorang bapak untuk observasi gimana caranya. Eh, tahu-tahu dia berbalik, ngomong dalam bahasanya, tapi intinya dia mau nolongin kami menambah kredit di kartu kami. 

Dia tunjuk uang yang saya pegang, dia ambil kartu dari tangan saya, dia masukkan uangnya dan voila – kartu sudah terisi. Dia nanya, apakah kami akan naik kereta (dengan bahasanya pula), kami nunjuk ke arah trem. Kami berpisah, setelah berjabat tangan dan saying a simple goodbye dan saya ber-thank you thank you berkali-kali.

--
Entah sudah berapa kali sebetulnya saya mengalami these random acts of goodness dalam perjalanan-perjalanan yang saya lakukan. Tapi mengalaminya di negeri asing, yang bahasanya saya nggak ngerti sama sekali, rasanya seperti menemukan oasis di padang pasir (not that I’ve experienced that...tapi kalau baca cerita Tintin sih kebayang deh rasanya gimana). 

Saya tidak pernah percaya agama akan menyelamatkan dunia (dengan resiko saya dibenci beberapa pemeluk agama yang fanatik...yang mudah-mudahan nggak pernah tahu saya tinggal dimana). Tapi saya percaya bahwa kebaikanlah yang bisa melakukan itu. Selama masih ada orang baik di dunia, rasanya masih ada harapan.

Nah pertanyaannya nih yang jleb jleb jleb saat saya bertanya pada diri sendiri sambil ngelamun tadi di trem: kapan loe terakhir melakukan random acts of goodness to a total stranger?. Eeerrrrrrr.....kok lama sekali saya harus mikir ya. Yes, ketampar bolak balik. Yes, maluuuu....

Lha kalau baik sama teman, saudara, kenalan, itu mah biasa. Tapi berbuat baik pada orang yang kita nggak kenal? – itu doing goodness for goodness’s sake bukan?. Yang menurut saya kayaknya nilainya lebih tinggi karena nggak ada agenda selain ya berbuat baik aja gitu. 

--
Kita baru saja masuk tahun baru Hijriyah, dan sebentar lagi 2015 pun bakal berakhir. Mungkin, ini saatnya saya mencanangkan resolusi: do as many random acts of goodness as you possibly can to total strangers, supaya dunia terus berputar... (eh mampus, bikin resolusi kok di blog yang dibaca banyak orang ya...haha...jangan ngecek ya nanti gue udah kerjain atau belum!. Yang penting niaaaatttt). 

Dan saya akan cerita ke Ibu saya – bahwa Istanbul nggak membahayakan kok, karena masih ada orang baik disana sini.


(R I R I – menemukan kebaikan di Istanbul yang sensual ini, ternyata sama menyenangkannya dengan melihat banyaknya cowok ganteng disini #eh).

Saturday, October 10, 2015

Memahami sakit, dan cintaNya



Perempuan. Kita ini dianugerahi tubuh yang luar biasa. Kemampuan mengandung dan melahirkan. Kemampuan memberi makan bayi melalui menyusui. Kemampuan otak untuk multitasking yang terjadi secara alami karena tanggung jawab kita sebagai ibu dan istri. Luar biasa kan.

Tapi kelihatannya dengan semua keajaiban itu, perempuan juga rentan penyakit. Dari rasa nggak nyaman yang normal saat PMS sampai segala penyakit yang ada hubungannya dengan organ kandungan dan menyusui. Belum yang lain.

Tapi kan kalau sedang sehat ya nggak mikir sakit kan. Dan sebaliknya kalau nggak sakit kita sering lalai dengan yang namanya hidup dan membiarkannya bergulir dengan waktu.

Kadang lalu ada aja kejadian yang ngebangunin kita dari keterlenaan itu. Saya mengalaminya baru-baru ini.

Awal tahun ini saya menemukan benjolan di payudara kiri. Jelas saya kaget. Dan, takut. Tapi dasar saya nggak suka ke dokter, saya cari info sendiri dulu. Tapi ya hari gini. With information at your finger tips, the more you know the more confused you are!. Atau saya aja kali yang dodol.

Akhirnya sekitar bulan Maret saya beranikan diri untuk mamografi dan USG. Hasilnya: tidak definitif - dibilang jinak iya tapi kok ada kecurigaan ganas juga. Hyaaa...to think that technology and advancement dalam dunia kedokteran akan selalu bisa kasih kepastian lha ini malah bingungin juga.

Tapi ya dasar saya. Males cari opini kedua. Tapi memang saya disarankan untuk ke Onkologi 3 bulan setelah itu.

OK lah. Saya pikir ya udah let's see. Dan seperti biasa saya nyantai lagi. Moved on with life seperti nggak ada apa-apa. Padahal sih takut.

3 minggu lalu (iya, udah lewat jauh dari 3 bulan yang disarankan...memang, saya sinting...), akhirnya saya ke Oncology Clinic di RS. Siloam di belakang Atma Jaya setelah dapat saran dari teman.
Setelah segala rupa tes, Onkolog-nya bilang (gitu bukan sih nyebutnya dalam bahasa Indonesia?), masih aman tapi harus dimonitor 3 bulan lagi. Saya akhirnya menemukan ketenangan dan kepastian yang saya cari.

Tapi jujur those 3 weeks were the longest weeks in my life. Dari hari ketemu dokter pertama kali, menjadwalkan 5 macam tes, nunggu hasilnya lalu nunggu waktu ketemu dokter lagi, was nerve wrecking. Kerja nggak tenang. Ketawa tapi ada yang ngganjel di hati. Serba salah lah.

Bukan kali ini aja padahal saya bermasalah dengan segala organ yang cuma diberikan pada perempuan. Operasi udah jadi kata yang lumayan 'biasa' di kuping saya. Sampai kakak saya aja komentar, "Loe nggak bisa ya masuk rumah sakit bukan buat dibelek?", saking seringnya saya operasi. Tapi kali ini saya betul-betul dibuat takut dengan segala konsekuensinya.

Gimana kalau harus kemo?. Gimana kalau nyebar?. Gimana kalau ini dan itu dan banyak sekali pertanyaan lain. Dan, the scariest question was: gimana anak-anak kalau saya harus ngejalanin lanjutannya?. Will I make it?. Will they make it seeing their mom in pain?.

Iya saya tahu ada survivors dan saya bisa belajar dari mereka. Tapi yaelah...teteeeuuuppp sereeem.

Thank God Tuhan masih kasihan pada saya, pada kami. Tuhan pasti tahu bahwa saya terlalu cemen untuk bisa tegar kalau hal itu harus terjadi. Saya bisa merasakan betapa cinta Tuhan demikian besar pada saya, pada keluarga saya. Padahaaalll....cinta saya padaNya sering kesalip dengan cinta-cinta yang lain. Saya selingkuh melulu.

Cinta pada anak-anak padahaaalll mereka juga adalah wujud cinta Tuhan pada saya juga. Cinta pada Cip padahaaalll dia juga hadiah Tuhan buat saya. Travel kesana kemari dan mensyukuri nikmatNya tapi kalau lagi lupa ya lupa aja kalau semua itu, yang saya lihat dan alami, juga wujud cintaNya. Dan masih banyak banget selingkuhan hati ini kalau dipikir-pikir.

Katanya sakit adalah pembasuh dosa. Nah. Itu juga wujud cinta Tuhan. Dikasih sakit yang mungkin adalah alat bantu saya untuk kehidupan setelah kematian kelak, supaya timbangan dosa nggak berat-berat banget laaah.

Saya bercanda dengan teman setelah lewat masa-masa 3 minggu jahanam itu. Saya bilang sama teman saya, kan katanya perempuan adalah penghuni neraka yang paling banyak. Tapi perempuan juga penyakitnya paling macem-macem. Itu mungkin cara Tuhan mencintai perempuan: dengan memberikan kita penawar-penawar dosa dengan segala penyakit itu.

A twisted logic?. Mungkin. But twisted or not, berpikir kayak gitu bikin saya jadi lebih nrimo dengan keperempuanan saya dan segala masalahnya. Dan bikin saya lebih melek akan cinta Tuhan yang bahkan ada lewat sakit. Bahwa sakit mungkin akan bisa dilewati dengan lebih ringan saat kita berpikir bahwa Tuhan sedang mengekspresikan cintanya pada kita lewat cara yang tidak biasa.

Bingung?. Ya udah jangan dipikirin. Sudah weekend, mikir yang ringan-ringan aja. Dan ingat selalu bahwa Tuhan, cinta kamu...


(R I R I. Ditulis 38.000 kaki di atas daratan Iran. Sebagai bentuk rasa syukur saya akan cinta Tuhan yang masih membuat saya bisa melakukan perjalanan ini dengan tenang. Dan doa saya untuk teman-teman perempuan yang sedang berjuang melawan kanker payudara. Be strong sisters...God loves you).

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts