Friday, August 22, 2014

Empati....kemana kamu?

Dua atau tiga hari lalu, ada status teman di Fesbuk yang bilang pelajaran empati harusnya ada dalam kurikulum sekolah.

Empati. Apaan sih itu?.

Ada salah satu kutipan yang selalu saya ingat, yang saya nggak sengaja baca di sebuah dinding gereja di Melbourne, yang menurut saya sangat pas menggambarkan empati: Don't do unto others what you don't want others do unto you (iya saya Muslim, jangan rewel kalau saya pakai kutipan dari agama lain. Sensitif itu kadang nggak ada gunanya, lho). Jangan lakukan terhadap orang lain apa yang kamu nggak mau orang lain lakukan terhadapmu. Keren abis, menurut saya. Makna paling inti dari empati.

Mengacu pada status teman saya, saya membatin: lalu apa iya empati itu tugas sekolah?.

Saya ingat almarhum Papa (iya. Gw emang bangga banget sama bapak gw, gimana dong..) yang secara tidak langsung membuat saya paham tentang kutipan itu tadi.

Banyak hal-hal kecil yang beliau lakukan dalam kesehariannya. Misalnya sekali dua hari, beliau selalu keliling halaman rumah kami yang ditanami macam-macam pohon, dan memastikan tidak ada satupun cabang yang menjulur ke lahan tetangga dan menjatuhkan entah daun atau buah busuk ke halaman orang. Papa punya golok pribadi khusus untuk memotong dahan dan cabang pohon. Beliau juga memastikan aliran air dari garasi mobil saat beliau mencuci mobil, tidak mengalir ke jalan karena itu fasilitas umum - beliau buatlah selokan kecil yang mengalirkan balik air itu ke tanah halaman kami sendiri (dan akhirnya terserap balik oleh tanah kami - keren abis ya bapak gw!). Saat saya mulai belajar nyetir, beliau cerewetnya minta ampun: jangan pencet klakson sembarangan!; matiin lampu kamu kalau ada orang jalan berlawanan arah sama kita di jalan yang sempit, silau buat orang itu!; jangan parkir sembarangan nanti orang susah lewat!.

Mama juga melakukan banyak hal yang mengajarkan kami tentang itu. Tapi mungkin karena saya jauh lebih banyak menghabiskan waktu bersama almarhum Papa, yang banyak sekali nempel di kepala saya ya perilaku beliau.

Iya. Perilaku. Beliau bukan orang yang banyak omong. Tapi apa yang beliau lakukan, jadi contoh luar biasa buat kami anak-anaknya.

Jadi saya yakin bahwa empati itu dibentuk dari rumah. Berakar dari para orang tua. Ditularkan pada anak-anak. Sekolah mungkin bisa membantu menyuburkannya, tapi akar itu dibentuk dari rumah kita sendiri.

Lalu ada banyak sekali fenomena di sekeliling kita sekarang, yang bikin saya jadi suka bertanya pada diri sendiri: kemana si empati itu?, liburan?. Atau tepatnya kemana mereka yang seharusnya menularkan empati?. Lupa?.

Seperti misalnya yang baru heboh sekarang soal pilpres. Keputusan hukum sudah keluar. Lalu kita gimana?.

Yang mendukung si pemenang pasti senang. OK fine.

Yang tadinya tidak mendukung - OK lah kalau masih tidak ikhlas. Tapi apa iya perlu mendoakan yang buruk-buruk?. Jujur saya sedih..

Bukan sedih karena saya kebetulan mendukung yang menang, tapi sedih karena ya itu: si empati itu lagi-lagi tidak muncul.

Saya pernah ada dalam posisi dimana saya yakin ada banyak orang yang ragu saya bisa memimpin. Di awal umur 30. Perempuan pula. Baru melahirkan pula - namanya ibu baru emang bisa bagi perhatian dengan baik?. Emang saya punya kemampuan untuk itu?. Apalagi perusahaan sedang dalam titik harus lari sekencang mungkin mengejar kompetisi, emang punya nyali dan energi buat ngadepin itu?.

Sayapun meragukan diri saya sendiri. Ada pertengkaran hebat di hati saya. Kalau bukan karena dukungan keluarga dan teman-teman terdekat, saya nggak akan berani ambil tantangan itu. Ada orang-orang yang percaya saya bisa. Dan saya nggak mau mengecewakan orang-orang itu dengan tidak mencoba.

Terus apa hubungannya dengan Presiden baru?.

Pernah nggak sih teman-teman yang terus menerus menguarkan aura negatif itu berpikir bagaimana rasanya perasaan diragukan, apalagi didoakan untuk gagal?. Atau saya balik pertanyaannya: kalau elo digituin, mau?. Dan pernah nggak sih teman-teman mikir bahwa ada orang-orang yang percaya dia bisa, apa akan kita biarkan dia tidak mencoba?. Kalau elo digituin, mau?.

Ya ya ya of course ini konteksnya adalah negara dengan sekian juta ratus ribu sekian keinginan dan agenda dan entah apa lagi. Ya pasti ada sekian juta ratus ribu sekian alasan untuk tidak berempati. Tapi pernahkah kita sadar, bahwa ini juga adalah tentang kita?. Kalau dia gagal, yang kena getahnya juga siapa?. Kalau kita sudah berdoa supaya dia gagal - guess what, seluruh fakultas di tubuh kita juga akan berusaha supaya dia gagal. Terus, gimana?. Daripada ngedoain gagal bukannya mendingan doa yang baik-baik saja untuk semua?.

Kekuatan doa katanya bisa menolak bala. Itu saya yakin dan sudah buktikan sendiri. Lha kalau ada yang nggak percaya pada kemampuannya, atau pada siapa di belakangnya, atau ada kekhawatiran dia dikuasai kekuatan-kekuatan jahat, ya lakukanlah sebaliknya: doakan dia mendapat pertolongan dan petunjuk dari segenap penjuru semesta supaya tidak gagal, karena kegagalan dia akan berimbas ke kita juga, bukan?. Daripada ngedoain dia gagal. Terus ntar, kita-kita juga yang susah, bukan?.

Dan pernahkah terpikir bahwa kemampuan berempati itu juga artinya adalah memperbaiki hati kita sendiri?. Emang loe gak capek mantengin kapaaan ni orang gagal yaa?. Emang nggak pernah ya ngebayangin apa yang terjadi dengan hati dan seluruh sel di badan loe saat loe berpikir negatif?.

Empati itu rasanya bukan cuma berkaitan dengan orang lain, tapi juga dengan diri kita sendiri. Berempatilah pada segenap bagian dari tubuh ini - yang setiap hari sudah kita dera untuk melakukan apa yang harus kita lakukan. Yang setiap hari sudah kita 'rusak' dengan kebiasaan-kebiasaan buruk kita: makan nggak bener, istirahat nggak bener, gerak badan nggak bener. Maukah kita tambah bebannya dengan menyimpan pikiran dan energi negatif?. Kasihan juga Tuhan yang sudah memberikan tubuh yang sedemikian sempurna.


Yah ini sekedar renungan aja. Dan ini tidak cuma terbatas pilpres. Tapi juga keseharian kita.

Berempati itu secara nggak langsung juga membuat kita berpikiran positif tentang banyak hal di sekitar kita, karena kita kan juga nggak mau disakiti kan. Jadi....jangan biarkan dia liburan dan pergi dari hati kita...

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts