Wednesday, July 2, 2014

Perjalanan sebuah Pilihan

Ibu saya dulu kalau jengkel lihat kelakuan orang-orang yang nggak tahu aturan, misalnya nggak bisa antri, atau nyalip sembarangan di jalan raya, atau buang sampah sembarangan, suka bilang kalau orang Indonesia ini harus masuk kamp konsentrasi dulu baru bisa bener kelakuannya.

Beliau yang pernah ngerasain jaman Jepang, PRRI, dan masa-masa kebangkitan setelah kemerdekaan, selalu bilang koruptor itu dibunuh aja, nggak perlu diadili. Di mata beliau, orang-orang ini nggak pantas hidup karena nggak bisa menghormati atas apa negara ini bisa berdiri – darah para pejuang, yang mempertaruhkan banyak hal bahkan nyawa, demi bisa merdeka.


Waktu di awal-awal maraknya pencalonan presiden, dari Gita yang ganteng sampai Sang Satria Bergitar yang bermodal pasukan pencinta Soneta, ibu saya bingung. Satu pagi, beliau nanya, “Jadi harus milih siapa kita nanti ya Ri?, bingung”. Oh ya. Beliau sudah berusia 77 tahun, dan masih semangat ikut Pemilu.

Saya ketawa. Saya bilang tunggu aja nanti saat pilihan sudah mengerucut. Saya juga bilang, doain aja ada yang beres yang bisa dipilih.

Waktu mencuat nama Prabowo, di pagi yang lain, ibu saya nanya lagi, “Menurut kamu gimana Prabowo, Ri?”.

Saya yang baru malam sebelumnya ngobrol sama Cip, dan sekali lagi belajar sejarah, bilang, “Kalau mau ide kamp konsentrasi dan semua koruptor dibunuh, mungkin Prabowo orang yang paling tepat sih Ma. Kalau nggak ada pilihan lain selain dia, ya mungkin Riri akan pilih dia. Iya sih dia punya sejarah hitam, tapi untuk ngelibas orang-orang kampret di pemerintahan, ya mungkin dia yang paling bisa. Lihat aja sejarah 1998. Komando dia yang bikin itu bisa terjadi. Iya sih bakal banyak korban, tapi if that’s what it takes to be better, ya mau gimana lagi”.

Ibu saya manggut-manggut. Beliau yang pernah berinteraksi sangat dekat dengan keluarga Soemitro, terutama sang Ibu lewat usaha dagang barang-barang antik yang pernah ditekuninya, cerita gimana Prabowo dalam keluarga tersebut memang digadang-gadang jadi presiden satu saat nanti.

Lalu beliau bilang, “Tapi jangan sampai ah kejadian lagi kayak 98, ngeri Ri. Kamu nggak disini sih waktu itu. Tiap hari kita deg-degan. Tiap uni ke kantor, Mama nggak tenang takut dia nggak bisa pulang, atau malah nggak pulang sama sekali kena peluru nyasar”. Iya, saya waktu itu memang sedang sekolah di Down Under, jadi cuma ikuti berita lewat TV, dan lewat surat-surat almarhum Papa. Yang saya masih ingat betul adalah salah satu surat dari almarhum, nggak lama setelah Soeharto lengser, yang meminta saya supaya tidak berpikir untuk pulang, supaya mencari kehidupan di negara lain, karena Indonesia kacau balau.

Saya memperhatikan wajah Ibu saya waktu beliau cerita keadaan waktu itu, dan membatin, well, harga perubahan memang mahal. Tapi jika itu yang harus dibayar, apakah kita mau mengambil resiko untuk tidak berubah?.

Lalu, muncul nama Jokowi. Saya sebagai warga Jakarta, ada rasa kecewa karena maunya beliau lanjutkan perjuangan beliau mengubah wajah dan tatanan kota Jakarta. Tapi lalu melihat Ahok yang dengan ketegasan dan kegigihan yang sama meneruskan apa yang sudah dimulai, saya mulai adem. Dan saya mulai mengobservasi kemana Jokowi akan melangkah.

Di tengah ketidakpastian siapa yang akan jadi cawapres masing-masing kubu, di salah satu weekend waktu saya lagi pacaran sama Cip, saya bilang, “You know what, kalau Jokowi pasangan sama Jusuf Kalla, selesai. Aku akan pilih mereka”. Cip, yang biasanya selalu punya bahan buat berdebat, manggut-manggut, “Iya, itu pilihan paling waras”.

Kenapa saya bilang gitu?.

Sudah 3 tahun saya putar haluan. Dari orang yang digaji, jadi orang yang tiap bulan harus mikir kami punya cash flow cukup kuat nggak ya untuk menggaji tim. Dari orang yang harus ngikutin perintah orang lain, jadi orang yang harus bisa berembuk dengan para partner menemukan jalan tengah menentukan mau dibawa kemana perahu yang sudah dibuat ini.

Memang 3 tahun ini pengalaman yang singkat. Tapi dalam 3 tahun, saya merasakan sekali gimana kebobrokan sistem di negara ini membuat kami seringkali meringis kesal. Urusan ijin, urusan pajak, urusan ketenagakerjaan, yang semuanya UUD – Ujung-Ujungnya Duit. Belum lagi urusan internet yang sampai hari gini masih aja lambat seperti siput. Penggambaran super nyata dari kerja beberapa badan pemerintahan, menurut saya.

Jadi dalam logika praktis saya, dengan Jokowi dan JK yang keduanya adalah juga pengusaha, yang pasti juga pernah merasakan sakitnya berurusan dengan segala sistem yang kacau, mereka pasti tahu apa yang harus diubah (DIUBAH ya bukan DIRUBAH. Karena tidak ada yang akan jadi rubah. Sekilas pelajaran Bahasa Indonesia....). Dengan demikian semoga saja pergerakan ekonomi akan makin lancar, negara bisa makin makmur. Aamiiin.


Lalu gimana dengan pilihan pertama saya, Prabowo?. Ya waktu kedua capres ini belum menentukan pilihan, saya masih mengambang. Tapi begitu Prabowo menyatakan koalisinya dengan Hatta Rajasa, lalu Golkar ikut dalam gerbong, lalu PKS, lalu PPP, that was it for me.

Sebagai anak dari orang tua yang PNS, kemuakan saya pada Golkar dan segala yang bersinggungan dengan partai ini sudah mengakar. Seragam KORPRI yang orang tua saya kenakan seminggu sekali, dan keharusan mencoblos Golkar again and again padahal hati nurani mereka tidak setuju, buat saya adalah lambang represi yang luar biasa.

Waktu lulus kuliah dan ibu saya meminta supaya saya melamar ke salah satu badan pemerintahan, dengan tegas saya bilang, “Nggak Ma. Sampai kapanpun kalau masih ada pilihan lain, Riri nggak mau jadi pegawai negeri. Nggak mau jadi kayak Mama dan Papa yang sepanjang usia kerja harus menentang sistem hanya supaya bisa tetap jadi orang yang benar di mata Allah. I’m not that strong”.

Segala yang dimungkinkan terjadi gara-gara Golkar, cukup bikin saya mau muntah. Satu partai itu saja, cukup membuat saya yakin kubu pertama is not my choice.

Sejarah hitam Prabowo is one thing. Tapi kalau saja dia menunjukkan itikad baik dengan berkoalisi dengan pihak yang lebih putih, mungkin akan lain cerita. Saya pernah bilang pada Cip, “Coba dia milih Dahlan Iskan jadi cawapres. Nah seru tuh. Orang pasti bakal bingung mau bilang apa, dan gak malah pada berantem kayak sekarang” (udah jangan dibahas Dahlan Iskan bakal mau atau nggak kalau dulu diminta....this is not for debating :)).


Saya nulis ini bukan mau membela kubu yang akan saya pilih, seperti beberapa pendukung yang bikin saya geleng-geleng kepala saking hebohnya pembelaannya, sampai saya kadang mikir, “Kenape sih bro, sis, santai aja. Ntar darah tinggi sapa yang nanggung?”. Saya cuma sedang kilas balik aja. Sekedar membuat catatan sejarah – yang siapa tahu jadi cerita lucu buat Tara dan Lila kelak. Bahwa ada satu masa dimana negerinya heboh harus belajar memilih dengan santun, harus belajar memilih dengan logika dan bukan dengan emosi. Dan bunda mereka di masa itu cuma berpegang pada logika sederhana dan praktis saja. Lalu melanjutkannya dengan observasi dan ngobrol sana sini untuk memantapkan pilihan.

Lalu gimana dengan ibu saya?. Di pagi yang lain lagi, beliau nanya, “Jokowi gimana Ri?”. Saya bilang, “Mikir gini aja Ma, mau nggak nanti tahu-tahu Aburizal jadi menteri?. Hatta Rajasa pula yang jadi capres – jejak dia gimana Mama pasti tahu kan?. Atau tahu-tahu si Rhoma Irama jadi Menteri”. Ibu saya langsung merengut, “Ih, amit-amit...”.


(R I R I)

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts