Sunday, November 15, 2009

"Don't mess with a dress!"

Saya tak ingat persisnya, kapan Tara mulai keranjingan Princess: himpunan karakter khayal yang melibatkan nama-nama seperti Cinderella, Snow White, Sleeping Beauty, atau Belle dalam Beauty and The Beast. Yang jelas, peer influence sebaya playgroup-nya memang susah ditentang. Subtil tapi efektif.

Setelah setahun, semua benda kesehariannya menjelma serba Princess. Tas ransel, sepatu, kaoskaki, piyama, tumbler, buku-buku, sisir, jepit rambut, sendal, dan stiker-stiker yang menempel di pojok-pojok rumah kami. Kontras dengan poster-poster Syi’i yang dipasang Oma-nya, di sudut rumah yang lain. Belakangan, ia juga minta beberapa gaun princess.

Begitu gemarnya ia, sampai-sampai di tiap usai menonton VCD/DVD, atau menutup buku-buku Princessnya, Tara akan memerankan satu atau dua fragmen kesukaannya. Mengkhayalkan tarian di grand ballroom, mencoba sepatu kaca, atau pesta-pesta kecil di kastil. Tapi yang paling buruk dari semua sandiwara-nya adalah: prosesi pernikahan. Aaaargh..!

Meski suka senyum-senyum sendiri melihat polah Tara, yang lebih sering, saya dan Riri akan saling pandang suntuk, mengutuki lini produksi Disney ini. Kami berdua memang suka senewen dengan ide dan visualisasi tentang Princess: pangeran tampan, kastil dan menara yang serba gemerlap, menikah, pertolongan peri-peri sihir yang serba instan. Dan terutama, konsep menyesatkan tentang happily ever after itu..

Walau demikian, ada juga karakter favorit kami. Ialah Yasmin, teman Aladin dari kisah 1001 malam. Unik karena -- berbeda dengan putri yang lain -- pengembangan karakter Yasmin lebih mengarah pada petualangan dan ‘pemberontakan’, ketimbang jatuh cinta, pangeran, dan kehidupan mapan di istana.

Yasmin melarikan diri dari istana untuk merasakan kejelataan dan hidup. Yasmin menjinakkan kuda liar bernama Sahara. Yasmin nekat mengikuti lomba pacuan, dan mengalahkan Aladin yang curang. Yasmin menjadi tutor anak-anak di lingkungan kerajaan. Yasmin memelihara macan..

Dalam banyak kisah, hubungan Aladin dan Yasmin digambarkan lebih menyerupai teman, ketimbang pasangan. Kawan bergelut, dan bukan “Pangeranku, oh, pangeranku..” Meski Aladin memiliki Jin (sebagaimana Nobita punya Doraemon), Yasmin tak pernah sekalipun digambarkan memanfaatkan fasilitas itu. Bandingkan dengan Cinderella atau Briar Rose dengan semua sihir yang mengelilinginya..

Saya berharap Tara bisa lebih banyak terinspirasi dari karakter Yasmin, ketimbang yang lain..


[…]

Lalu Barbie. Ya, Barbie.. Sebagaimana usai playgroup, anak kami memasuki TK, maka episode lanjutan dari Princess adalah Barbie.

Buat kami, ini sakit kepala yang lain lagi. Jenis yang lebih buruk: semacam projeksi dari kekosongan jiwa dengan kompensasi kecantikan ragawi. Dan putri tercinta kami, adalah konsumen setia gagasan ini..

Siapapun yang dulu menciptakan Barbie, tentulah dia pebisnis manipulatif, yang tahu persis bahwa mimpi Amerika pasca perang dunia kedua -- tahun-tahun menjelang kelahiran Barbie -- adalah kelimpahan materi dan kesempurnaan badani. Bahwa kemolekan adalah penanda kesuksesan.

Belakangan – setelah Barbie mengalami defisit imajinasi – peremajaan dan ekspansi dilakukan. Mereka mengadopsi legenda dan kisah klasik untuk diletakkan dalam framework Barbie melalui karakter-karakter molek dengan badan yang seragam (seperti hasil rekayasa genetika), mengkilap serupa plastik.

Maka munculah Barbie Fairytopia, Barbie Mariposa, Barbie Swanlake, Barbie Nutcracker, 12 Dancing Princess dan seterusnya..

Untungnya, sesekali waktu, ada juga yang waras di Mattel. Ini saat mereka mengeluarkan, misalnya, Barbie and The Three Musketeers, September 2009 kemarin.

Alkisah, Corinne dan teman-temannya memiliki cita-cita aneh, yakni menjadi pemain pedang untuk membela negaranya. Mereka hendak menjadi Musketeers. Tentu mereka menjadi bahan olok-olok, sampai saat mereka menggagalkan sebuah upaya kudeta, bukan dengan kemolekan, tapi dengan benda-benda tajam di genggaman dan duel-duel seru.







Berempat akhirnya menjadi musketeers andalan, dan anak-anak dibuat ingat pesan Bunda Corinne, saat anak semata wayangnya meninggalkan pinggiran Paris untuk menggapai cita-citanya: “True courage is pursuing your dream, even when everyone else says it's impossible..."


Yang paling hebat dari edisi ini adalah keberanian Corinne untuk menampik cinta Pangeran dan memilih berkelana ke seluruh penjuru Perancis, menjadi seorang Musketeers. Sebuah penolakan telak pada pakem happy ending ala Amerika..


Tara, tergila-gila pada film ini. Berhari-hari ia menggunakan semua benda di rumah, dan menjadikannya sebagai senjata: pedang, cambuk, dan bahkan kipas. Ya, kipas ganda adalah favoritnya. Tentu buat dia amat cool, melihat kipas dapat digunakan sebagai senjata duel. Ia mengajak ayahnya bertarung. Beradu senjata dengan bunda. Ia mengambil pose berkelahi, dengan berbagai gaya. Di tempat tidur, pada jam-jam khayalnya, ia bertarung sendirian. Dan dia hapal benar salah satu baris paling penting dalam filem, yang kini menjadi mantranya. Yakni saat Corinne menggertak keroyokan lawannya. “Don’t mess with a dress..!”


OK, menurut saya tampang Corinne yang ke-barbie-barbie-an itu benar-benar membosankan. Dan rambutnya yang tergerai-gerai itu benar-benar tidak memiliki selera. Tapi passion dia pada petualangan membuat ia cantik..


Yes, beib. Don’t mess with a dress! Jangan anggap remeh perempuan! :)


(CIP)

Wednesday, November 11, 2009

Ternyata saya mencintai Jakarta...

Pernikahan mengubah orang.

Pasti itu banyak yang meyakini. Baik atau tidaknya perubahan itu, wallahualam. Tergantung pribadi masing-masing, mungkin. Tergantung kacamatanya – minus atau plus. Dan tergantung bagaimana menyikapi perubahan itu sendiri.


Buat saya, pernikahan saya dengan seorang Ciptadi, mengubah saya dalam banyak hal. Baik atau tidak?, hanya saya, Tuhan, dan Ciptadi yang akan saya biarkan menilai. Yang lain, tutup mulut.


Salah satu yang berubah sejak saya menikah dengan Cip, adalah bagaimana saya memandang Jakarta.


--


Saya hidup di kota ini seumur hidup saya.


5 tahun pertama hidup saya, kami tinggal di pinggir kali Angke yang waktu itu masih terlihat dasarnya, di Pesing (coba cari di peta Jakarta). Teman-teman saya anak nelayan, atau anak tukang kayu di sekitar kali. Papa pernah menangkap lobster dari kali di belakang rumah. Kami punya 7 ekor anjing. Saya juga masih ingat pohon asam raksasa di halaman depan rumah, katanya ada hantunya tapi untung saya tidak pernah lihat. 4 atau 5 pohon flamboyan di pinggiran halaman, yang membuat tanah halaman warna warni dengan bunganya yang berjatuhan. Kadang-kadang kami lihat biawak berjemur. Di pinggir kali. Di bawah jemuran. Atau ular yang memutuskan untuk berjalan-jalan ke dalam rumah.


Waktu pabrik Kedaung dibangun dan beroperasi di pinggir kali Angke, ayah dan ibu saya memutuskan untuk pindah. Alasannya: karena ibu saya jadi parno setiap kali pulang kantor dan menemukan bagian dalam hidung anak-anak perempuannya hitam seperti jelaga.


Kami pindah ke Mampang. Walaupun saya dan kakak sempat ngamuk karena halaman main yang jauh lebih kecil dibanding rumah kami yang lama, tapi Mampang menawarkan sesuatu yang lain. Dingin. Pagi berkabut. Sore-sore berbaju hangat. Pohon-pohon dan kebun-kebun. Jalan-jalan tikus yang menyambung satu gang dengan gang yang lain, yang di kepala kanak-kanak saya seperti labirin yang memanggil untuk ditelusuri. Sapi melenguh dari kandang sapi tetangga di belakang rumah.


Nah. Itu jejak-jejak ingatan awal saya tentang Jakarta. Indah.


Seiring dengan saya beranjak dewasa, saya makin kehilangan rasa itu. Mungkin sama dengan banyak teman yang lain, di mata saya Jakarta jadi raksasa yang kotor, padat, berdebu, tidak bersahabat (apalagi kalau status kita adalah ‘pejalan kaki’), panas. Dan tidak enak-tidak enak lainnya.


Lalu, saya ketemu Ciptadi.


--


Dari Cip saya jadi melihat Jakarta dari kacamata yang lain. Cip selalu membahasakan dirinya ’anak desa’. Dia tidak besar di Jakarta. Dan mungkin, karena itu Cip bisa melihat hal-hal yang masih indah, yang sulit untuk saya lihat.

Cip pernah mengajak saya napak tilas ke daerah jelajah keluarga kami waktu saya masih kecil. Menelusuri daerah jalan-jalan keluarga saya dulu: Glodok, Kota Tua, daerah pelabuhan, all the way to Pesing, lalu, Marunda. Hampir seharian kami keliling Jakarta Pusat dan Utara waktu itu. Dan saya melihat daerah yang sekarang kotor dan terlupakan itu dengan kaca mata yang lain.

Bendera-bendera perahu-perahu nelayan yang berjejer itu cantik. Pelabuhan dengan kapal-kapal besarnya kalau malam, bisa jadi pemandangan indah juga (dan memang iya. Waktu kami kecil, kalau malam minggu, Papa sering mengajak kami nongkrong di pinggir jalan dekat pelabuhan, minum sekoteng, sambil melihat kerlap kerlip lampu kapal-kapal besar). Tempat pelelangan ikan dengan jalan rusaknya itu, pasti asik kalau kita datangi subuh-subuh. Pantai terbuka di KBN itu, enak juga buat leyeh-leyeh di mobil siang-siang, kalau lagi bosan lihat yang rapi-rapi. Dan seterusnya.


Lalu Cip juga yang membuat saya meng-apresiasi ulang Pasar Seni di Ancol. Lalu Monas. Lalu Taman Suropati. Lalu Taman Gajah di Menteng. Kaki lima di Menteng. Kaki lima di Jalan Sabang. Jalan Jaksa. Daerah Menteng dan bangunan-bangunan tuanya. Distro di Tebet. Dan deretennya jadi semakin panjang.


Ada beberapa hal yang Cip apresiasi sekarang, sudah saya lakukan sebagai anak kecil, atau remaja. Thanks to him, saya diingatkan lagi tentang hal-hal itu. Dan untung juga saya ketemu dengan Cip. Kalau tidak, rasanya nggak kebayang harus tetap tinggal di Jakarta yang makin penuh ini, kalau pasangan saya tidak bisa melihat Jakarta dengan kacamata yang lain: ’hidup’, asik, seru, berwarna, indah dengan segala kekotorannya, dan, sedang belajar berbudaya dengan segala rupa polesan acara kebudayaan. Ya lumayanlah, sudah belajar.

--

Mungkin kata-kata ’mencintai’ terlalu romantis dan ’dalem’ untuk digunakan. Tapi yang pasti,
ini kota gue, tempat gue lahir dan besar. Magelang dan Suliki, asal kedua orang tua saya, itu adalah halo. Bayangan suci yang sakral tentang ’akar’ saya. Tapi Jakarta is ingrained in me, karena saya bernapas di udaranya sejak saya lahir.

Jadi, kalau saya tidak belajar mencintainya sekarang, kapan lagi?. Sebelum dia tenggelam, entah oleh tsunami atau ulah kita yang menanamkan beton-beton besar di sendi-sendi tuanya.

(RIRI)

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts