Monday, May 25, 2009

Pertanyaan kecil tentang kematian di suatu siang

Hari Jumat yang lalu, saya ajak Tara berenang. Ini permulaan dari janji saya kepada diri sendiri bahwa selama saya tidak bekerja, Tara harus makin mahir berenang dengan ajaran saya sendiri.

Karena kami sudah dua malam menginap di rumah kedua kami di BSD, pilihan tempat berenang kami jatuh pada Ocean Park. Tiba disana, sudah ada antrian panjang untuk membeli tiket. Lalu saya mintalah pengasuh Tara untuk mengantri, sementara saya menemani Tara.

Dekat dengan kami, ada sebuah televisi. Kebetulan sekali, sedang ada ulasan tentang kecelakaan pesawat Hercules beberapa hari sebelumnya. Kebetulan pula, sedang disorot sebuah keluarga yang sedang menangis di hadapan sebuah peti mati.

Tara lalu bertanya pada saya, tanpa mengalihkan pandangannya dari TV, "Bunda, kenapa sih mereka nangis". Saya jawab, "Karena ada yang meninggal sayang". Tara spontan melihat kepada saya dan bertanya lagi, "Kenapa kalau ada yang meninggal, mereka nangis?".

Hmmm....saya sempat terdiam sebentar, iya ya, kenapa.

Pertanyaan Tara yang polos itu mengusik hati saya sedikit. Kalau dipikir-pikir, apakah setiap kehilangan memang harus ditangisi. Kadang, kalau saya berpikir tentang Papa, Datuk (kakek), nenek saya, dan beberapa om atau tante saya yang sudah tiada, kemudian saya melihat kehidupan saat ini, saya sering mengucap syukur bahwa mereka tidak harus melihat apa yang terjadi saat ini. Mereka tidak harus melihat betapa republik ini semakin tidak menentu - sementara mereka berjuang demi kemerdekaan tanah air yang sekarang kita injak-injak dengan segala perilaku yang tidak pantas: korupsi, ketidak sopanan terhadap sesama, 'dingin'nya hati terhadap penderitaan sesama...itu hanya beberapa hal yang sering kita temui di berita-berita.

Suami saya pernah berkata - harusnya, kematian adalah sesuatu yang dirayakan dengan suka hati. Karena, yang sudah tiada, sudah melanjutkan perjalanan mereka. Sementara kita, masih disini, masih merayap, mencoba mencakar-cakar sedikit demi sedikit sisa kebaikan dalam hidup, dan berharap perjalanan kita kelak akan menjadi lebih baik, dibandingkan hidup kita sekarang.

Jadi, harusnya, kita menangis karena diri kita sendiri, bukankah begitu?. Karena kita tidak tahu, dan mungkin tidak pernah tahu, apakah kita siap untuk menghadapi perjalanan itu kelak. Sementara yang meninggalkan kita, sudah tahu apa yang ia harus hadapi. Sudah pupus satu pertanyaan terbesarnya, "Akan seperti apakah kelak dunia kematian itu?".

Kembali ke pertanyaan Tara, akhirnya saya jawab, "Karena, mereka tidak bisa ketemu lagi dengan yang sudah meninggal itu, selama-lamanya". Tarapun terdiam, dan kemudian asyik memperhatikan anak-anak lain dan lupa dengan perbincangan kami.

Saya tidak tahu, kapan saya bisa menjelaskan pada Tara kenapa kita harus menangisi kematian, dengan menggunakan logika seperti yang saya utarakan di atas. Tapi yang jelas, satu hari nanti, rasanya ia harus bisa melihat kematian dengan perspektif yang berbeda - bahwa kehilangan seseorang selama-lamanya tidak berarti buruk, dan bahwa ia harusnya berbahagia bahwa orang itu telah melanjutkan perjalanan. Dan kelak ia harus bersiap diri pula untuk melanjutkan perjalanannya.

Masih di hari yang sama, malam harinya, saat saya sudah lupa apa yang ia tanyakan siang itu, Tara bertanya lagi, "Bunda, kalau gitu, nanti kalau bunda meninggal, Tara nggak bisa lagi dong ketemu sama bunda, selama-lamanya". Saya hanya membelai kepalanya, dan berkata, "Iya sayang. Kalau ada hidup ya ada mati, itu aja".

Ah anak kecilku...Bunda tidak tahu apakah kamu akan menangis semalaman kelak kalau Bunda dipanggil sebelum kamu oleh Yang Maha Memiliki, seperti saat Bunda kehilangan Opamu. Sulit memang untuk tidak menangisi kepergian seseorang. Tapi satu hari, kamu mudah-mudahan akan tahu, bahwa kepergian juga membawa kebahagiaan, dengan caranya sendiri.

(RIRI)


Pada akhirnya, kematian hanyalah sebuah istirahat yang panjang...

Pippi Longstocking – a liberating role model


I grew up with great books from Enid Blyton, the stories of Laura Ingalls, and the comics of Tintin. Those were the regulars that I got. But one day my father bought me a different book, about a little girl with carrot coloured hair wearing non-matching stockings, Pippi Longstocking. The original of Pippi was Pippi Langstrump, written by a Swedish writer Astrid Lindgren – who apparently created Pippi to amuse her daughter who was ill and bedridden.

And from that first encounter, as a character Pippi stays with me until now. Apart from her carrot coloured hair which is always on two protruding pony tails on each side of her head, and her un-matching stockings, I also love the way she behaves. She practically does whatever she wants. She lives alone in Villekula Cottage with a horse (which she can easily lift with one hand) and Mr. Nilsson, her monkey. She has lots and lots of adventure, which she shares with 2 other kids – Thomas and Annika (it was assumed that Annika was actually a reflection of Astrid’s own daugher, Karin Lindgren).

Pippi is such an extraordinary girl, having wild thoughts – or perhaps to us adults they are wild thoughts while I think they are what every kids are actually dreaming of (when we adults do not stop them all the time). Pippi loves cooking for her friends, gives away her treasure to other kids when she goes shopping – she has a trunk full of golden coins. She does not go to school – because she thinks learning too much is not good for a kid (some truth in that, too!). She cannot count properly, but she can solve any problem, in a cute ‘kid’ kind of thinking.

She has travelled the world – on a huge ship with her father (a sailor who then becomes a king of a remote island). She has even been to Jakarta and Kalimantan! – I felt exhilirated reading it, imagine, these books were created on 1944!. And Pippi has a very interesting way to describe what life was like at those places that she has visited. For instance, she said in Egypt everyone walks backwards, in India people walk with their hands and their feet up in the air. Of course much of what is in the story book was imagination, but these stories were stuck in my mind and made me wanted to know those places even more.

After years of first reading these books as a child, about a year ago I was thrilled to have found a Pippi movie DVD. I bought it and watched it with my daughter, and she instantly loved this Pippi character which she described as, “Looks naughty but kind hearted, and I like the horse”. And last month I again re-read the three series of Pippi.

Watching the movie and reading the books again as an adult, I can’t help thinking how much I have lost that ability to imagine things, to be ‘daring’ enough to break the barriers, to say things that should have been said. In Pippi’s description, an adult knows no fun, only deals with lots of work that is not exciting, adults have strange ways of thinking – filled with silly beliefs. And according to Pippi she will need one hour practice everyday to be able to behave according to all the rules that adults want kids to behave. I think in some ways, she is right – and I am sure that is what many kids are thinking of us too!.

What I also love is Pippi’s views of school. To a lot of extent, I think we should take some learning from what she said about school. Apart from her thinking that studying too much can make even the healthiest kid sick, she also said that too much knowledge can make her dizzy. That she chose to just sit by the classroom’s window and asked the teacher from time to time throw ‘just a little knowledge’ for her to know bits of things, because inside the classroom she feels suffocated by all the knowledge that is packed in the room. I really love that. Because in reality, how often do we learn and learn and learn, but at the end of the day we cannot even remember what we have learned because we just have too much in our head. And if I look back to the time when I was at school, Indonesia’s education system being so centered around memorising things that sometimes I did feel like my head was going to explode. And when we are growing up, sometimes we cannot even think of how the knowledge can help ourselves, or others. Isn’t having more knowledge is supposed to make us more useful for others too?.

If Enid Blyton books taught me the spirit of friendship and adventure, Tintin comics and Pippi’s stories gave me a zest to travel the world. These books affected me the same way – a yearning to see the places on this earth, to know people’s habit on those places, to see how they live.

And Pippi’s stories gave me another thing: a wisdom to look at life. It sounds strange, but nevertheless, in its purest way of thinking, Pippi has a lot to offer even to us adults in the way we should look at our lives. How we have forgotten how to have fun, many times. And when we have kids – how often we have actually ‘strangled’ their imagination with our rules which we think will govern them. How we sometimes emphasise too much on these rules for our convenience rather than thinking what good they will be for our kids, that they become barriers for kids to explore the world and find out things for themselves. How we think school is great for kids – while sometimes it can become a place where kids’ imagination is trapped and they become bogged down with details and theories which, may not help them very much to survive this life if without knowing the practical side of life (e.g. cooking, cleaning, standing up and looking after yourself). How we often forget to let kids be kids, with their ‘wild’ imagination, and just let them see how far it will take them.

I have to say that Astrid Lindgren’s contribution to children storybooks by creating Pippi is tremendous. She has created a character so liberating, so out of the box, and yet, so real in the way she thinks about many things. And best yet, it is not just about adventures of a little girl, it is about pushing our own boundaries when we think of things around us, of how we think of kids. And the stories are relevant for any kids, at any point in time. They will be able to give kids a way to vent out their imagination.

Yes it may seem that Pippi is a wild little girl who cannot follow rules – but, in reality, which kid wants to follow any rule!. So, why don’t we at least let them have that ‘liberating moment’ by reading what Pippi does. At least at imagination level, we should give them time to get out of the boundaries of rules and ‘must do’s’ once in a while. And who knows, maybe they will question us about our rules the way Pippi does – which is always good for reality check for us. Because sometimes (or many times?) as parents, we think we know best, but I don’t think we do. At least half the time, we actually know nothing.


(RIRI)

"Jadi ingat kenapa dulu aku menikahi kamu"

Itu penggalan kecil dari pesan yang lumayan panjang di telepon genggam saya, dari suami tercinta, di sebuah siang bolong, saat kepala saya sedang lelah-lelahnya berpikir. Tentunya pesan itu made my day very much. Lucunya, tak lama setelah itu, ada pesan lanjutan yang bunyinya, ”Jangan salah sangka ya, bukannya aku pernah lupa, tapi aku baru lihat sesuatu yang mengingatkanku lagi”.

Saya tidak pernah terlalu memikirkan apakah Cip akan selalu ingat dengan alasannya menikahi saya, atau tidak. Fakta bahwa dia dengan setia mendukung setiap langkah saya dan membiarkan saya menjadi diri saya sendiri, itu sudah lebih dari cukup. Dan buat saya, lupa itu manusiawi, seperti halnya lapar, haus, lelah dan sebagainya. Jadi kalaupun satu saat dia lupa, saya juga tidak akan marah. Tapi kedua pesan tersebut membuat saya sempat berpikir, apa iya, bahwa satu saat kita bisa melupakan alasan kita mencintai seseorang? Lupa kenapa kita di suatu hari memutuskan untuk menikah dan menghabiskan jam demi jam, selama bertahun-tahun dengan orang yang sama.

Saya jadi berpikir apa ya hal-hal yang demikian hebat, yang dapat membuat sepasang kekasih, atau salah satunya, lupa kenapa mereka memilih untuk berdiri bersama menantang hidup, dan bukannya sendirian saja?.

Baru-baru ini seorang sahabat bercerita tentang keprihatinannya. Betapa banyak temannya yang sudah menikah – sebagian besar baru menikah dengan hitungan tahun yang masih satu angka – tapi mereka begitu tidak bahagia. Sahabat saya ini kebetulan belum menikah. Cerita teman-temannya membuat dia merasa, bahwa memang ada benarnya Tuhan belum mempertemukan dia dengan sang jodoh, karena rasanya, dia tidak akan sanggup menghadapi segala tantangan pernikahan.

Dia berceritalah tentang temannya yang merasa sudah ’berkorban’ untuk pernikahan itu dengan menghanguskan mimpinya demi mengikuti keinginan sang suami. Adalagi yang merasa jadi orang asing dalam pernikahan – dan mengatakan pada sahabat saya bahwa merasa sendirian pada saat single, jauh lebih baik daripada merasa sendirian dalam pernikahan (saya merinding mendengar yang satu ini – tragis). Adapula yang memilih berpisah – karena merasa tidak punya kesamaan lagi untuk dipertahankan.

Saya tidak tahu apakah mereka pernah berusaha mengingat-ingat kembali kenapa mereka menikahi pasangan mereka. Tapi gara-gara sepenggal pesan dari suami saya itu, saya jadi terpikir bahwa memang ada gunanya kita sekali-sekali walk down the memory lane. Paling tidak, itu akan membuat kita tersadar akan hal-hal kecil yang kita cintai dari pasangan kita, dan mungkin bisa membantu kita melupakan segala hal yang mengesalkan. Daripada kita berlarut-larut mengasihani diri sendiri yang sudah kehilangan mimpi pribadi, atau mencaci maki nasib yang tidak sesuai dengan harapan, apa tidak lebih baik kita ingat-ingat apa yang dulu membuat kita mengatakan, ”Iya, saya mau menikah denganmu”.

Kalau saya meminjam kata-kata dari Hercule Poirot, detektif luar biasa yang jadi favorit saya: “…with the passage of time, the mind retains a hold of the essentials and rejects superficial matters”. Mungkin kita sudah melupakan segala rayuan gombal pada saat PDKT, mungkin kita juga sudah melupakan saat-saat kita bertengkar di jaman pacaran, bahkan mungkin kita sudah melupakan film-film yang pernah kita tonton bersama-sama sambil makan popcorn berdua atau berpegangan tangan seolah ada lem maha lengket di antara tangan kita. Tapi memaknai kata-kata Poirot, harusnya, pikiran dan hati kita digunakan untuk menyimpan jejak-jejak ingatan yang paling esensial, dan membuang semua ‘sampah’ yang tidak penting. Dan rasanya tidak mungkin bahwa yang esensial itu adalah hal-hal yang buruk. Kalau itu adalah hal-hal yang buruk, mana mungkin kita memutuskan menikahi pasangan kita, dulu? Itu logika naif saya.

Untuk suami saya, memori itu mengambil bentuk sebuah foto. Buat saya, ada jejak-jejak ingatan tentang kami, banyak diantaranya kuat menancap. Ada kenangan tentang kepenatan berbelanja pernak pernik seserahan dan membuat kami bersumpah anak kami tidak akan kami buat susah dengan tradisi, atau kenangan tentang jadi turis miskin mengelana di sebagian Eropa Barat, atau kenangan tentang Ciptadi mengajak anak kami berjalan-jalan di taman Suropati saat saya sedang bermil-mil jauhnya dari Jakarta. Ada segudang SMS dari Cip saat saya hamil dan ia tidak di sisi saya, dan banyak lagi. Nah, bagaimana dengan teman-teman?. Mungkin ada gunanya teman-teman membongkar kembali album foto, atau potongan-potongan surat cinta, atau sekedar memejamkan mata dan membiarkan pikiran menerawang ke masa lalu. Asal kemudian tidak dibiarkan liar mengingat hal-hal yang harusnya dilupakan. Jangan-jangan teman-teman akan menemukan kejutan di sel-sel kelabu itu, seperti ketika Ciptadi menemukan kejutannya waktu membongkar lemari foto kami.

Hari itu, saya menanyakan ke Cip, foto yang ia lihat itu mengingatkannya pada apa. Jawaban yang ia berikan, masih via SMS, membuat saya meleleh…
“That u r irresistible. Ada foto kamu yg luar biasa bgt showing ur quality. I wonder knp dulu aku gak punya saingan. Dos guys were really blind n stupid…hehe..."

Apapun itu, yuk kita saling mengingatkan pasangan tentang apa yang membuat kita bersedia melangkah bersama. Dan sebuah pesan singkat di siang bolong, rasanya selalu bisa membuat siapa saja tersenyum di tengah kepenatan, dan membuat rasa cinta itu selalu hidup.


(ditulis tanggal 19 Februari 2009, saat saya menikmati malam yang sepi dan tersenyum-senyum sendiri melihat-lihat lagi semua SMS yang pernah Ciptadi kirimkan pada saya. I love this man…. Dan sekarang, hal-hal sederhana seperti torehan pada pasir pantai Tamban Indah, Malang, ini jadi bagian jejak ingatan saya tentang Ciptadi - a loving father to our daughter)

(RIRI)

Friday, May 15, 2009

Marx, Freud dan Islam, di sebuah Jumat yang indah


Marx, ya, Karl Marx, barangkali adalah pemikir sosial yang paling disalahpahami. Padahal inti dari pemikirannya adalah kritik ideologi. Semacam perangkat untuk mempertanyakan: jangan-jangan yang diterima masyarakat sebagai kesepakatan bersama, bukanlah yang terbaik, dan diam-diam mengusung kepentingan kelas yang berkuasa untuk mempertahankan dominasi dan penghisapan sistematis.

Salah paham yang lain juga terjadi pada Sigmund Freud, yang dianggap sebagai psikolog yang mereduksi manusia sebagai makhluk yang hanya digerakkan oleh agresi dan sex. Padahal pelajaran paling penting dari Freud adalah ajakan agar kita mengalahkan trauma, mempertanyakan motif personal, dan keberanian untuk berhadapan dengan diri kita yang asli dan kadang-kadang gelap. Untuk kemudian melampauinya..

Dua-duanya, in a way, pernah menjadi pahlawan saya. Mereka berdua mengajari saya untuk mempertanyakan. Pertama, mempertanyakan masyarakat. Namun lebih utama lagi, mempertanyakan diri sendiri. Intinya melakukan kritik. Bertanya, by the way, adalah salah satu anugerah terbesar yang dihadiahkan Tuhan kepada manusia. Kritik, berpikir kritis, adalah anugerah besar yang lain.

Saya mencintai Islam, salah satunya, juga karena semangat untuk mempertanyakan, semangat untuk mengkritik ini. Betapa tidak? Agama ini mengajarkan bahwa dasar untuk berserah diri atau menemukan kebenaran, adalah dengan ‘menidakkan’, atau ‘mempertanyakan ulang’. Simak saja kredo dasarnya: tidak ada tuhan selain Tuhan.
Guys, note this: Ini adalah satu-satunya agama yang memulai imannya dengan kata "tidak".

Intinya, untuk menemukan Tuhan yang sebenarnya, kita harus menidakkan/ mempertanyakan tuhan-tuhan yang lain: uang, kekayaan, kecerdasan, kuasa, prestise, juga prestasi, ego pribadi, nafsu dan ambisi. Bagaimana Anda tahu apa artinya ‘menyerah’ tanpa pernah ‘memberontak?’

Pada tahun-tahun awal risalah, Nabi Muhhammad saw, acapkali mengkritik masyarakat yang berpuas pada pemikiran yang diterima umum, mengekor buta pada kebiasaan-kebiasaan lama, dan enggan mempertanyakan apa yang sudah kadung diwariskan. Simak saja, misalnya..

Apabila diserukan pada mereka kebenaran, mereka menjawab: cukuplah untuk kami apa yang kami dapatkan dari bapak dan pemimpin kami. Dan apakah mereka akan mengikuti para pendahulu mereka, padahal belum tentu para pendahulu ini mengetahui apa-apa, dan tidak pula mendapat petunjuk?
(Al Maidah: 104)

Sayangnya, tidak sedikit yang menganggap ayat ini sebagai sejarah saja. Sementara, saya membayangkan, etos dari bait suci ini bersifat abadi: yakni untuk terus membuka diri dan mempertanyakan. Apakah ajaran ini dari ulama anu yang hidup sepuluh abad yang lalu, adalah satu-satunya interpretasi yang benar? Mungkinkah ada pemahaman yang lebih baik dari warisan ajaran turun temurun ini?

Hayyaahh… serius banget nih, untuk sebuah Jumat yang indah! He he..Dan kayaknya gak cocok buat kotbah Jumat.. :) Anyway, guys, happy Friday. May your day blessed with Baraka.
I love you all!!

(CIP)




Thursday, May 14, 2009

The Ghosts Of Istanbul On The Streets Of Singapore


I have been to Singapore many times – but never explored the city properly. Most of the time I was there for work, and of course after work what was there to left doing in Singapore but shopping and eating, naturally.

So when my husband asked if I would like to go to Singapore, just the two of us, on his birthday, I immediately said yes. Well – who would refuse a free trip!. Plus, I thought it would be good to explore the CITY and not only the malls (must admit I also had IKEA hanging at the back of my mind ever since we have finished renovating our coccoon).

Like in any other trips, I always prepared a book to read while waiting for the plane and on the plane. Especially since I had to go on my own, to meet my husband later in the afternoon as I have planned to leave earlier than him. I debated between bringing a collection of Hercule Poirot stories, with a book written by a Turkish writer, Orhan Pamuk. My choice fell with Pamuk’s book: Istanbul – The Memories of A City (or rather the Bahasa translation version of his book).

There were two reasons why I wanted to bring Pamuk’s book – one because I have always wanted to go to Istanbul. Somehow Turkey has always fascinated me – the same way Italy and Egypt have mesmerised me with the stories of the glories of the past. The second reason would be – to me Singapore has always imprinted an image of a sterile city, a fabricated place to live that provides a high level of comfort. The story about Istanbul from Pamuk, I had hoped, would bring a flavour of difference to this trip: a flavour of chaos, though only in a written format.

And so I immersed myself in this book as soon as I found a place to sit waiting for boarding. I was prepared for the melancholy that this book would bring. I once attended a book discussion about it sometime back – where we discussed about a deeply melancholic aura in the book as it talks about the vast cultural change that has rocked Turkey. A melancholy that is communal, that somehow reflects how the society looks at life in Istanbul – with its unending battle between the modern and the receding past.

And the more I flipped the pages of this book, the more I got fascinated by the way the glories of the past seem to sit side by side with modernity that is accepted awkwardly by the society. Somehow the book really got me ‘feel’ what the society feels – not really a part of Europe but not really Asian; once was the biggest Khalifatul of Islam and now left to ruins; wanting to stay true to Islam values as well as wanting to embrace the Western values…so many contradictions and conflicts that the society has faced. And Pamuk described all the ruins of the past so well, he also put a lot of pictures of Istanbul as well as of his family’s, that my imagination just run wild thinking of how life was when the glory was still in the city, and how life is for the people now.

What’s that got to do with our Singapore trip?. To me Singapore is a bubble – a somehow made up life with everything so stable, comfortable, clean, structured, predictable. I never really found a real surprise on the streets of Singapore – no chaos on the street, no litter on the ground, no drunken crazy people walking around at 2am on a Friday night; to name a few that I have found in other cities.

I am not saying that it is bad – I am actually glad that there is a place like Singapore on the face of this earth. Because people need stability and comfort and predictability from time to time. Yet reading Pamuk as a company to this trip, and finally having the opportunity to really look at Singapore as a city, somehow has made me understood why all this time, I never really feel the urge to explore it anyway. Walking around Singapore without shopping as my main interest, I felt that somehow I lost the power of imagining the glories of the past on the streets of the Merlion city. All the colonial buildings and monuments are so nicely preserved – that I lost the urge to stop, reflect and imagine how they would be like in the past. My imagination sort of stopped functioning because all these buildings are so nicely arranged and cleaned and preserved.

I would imagine that if I did have a chance to visit Istanbul one of these days, I would have to call all the faculties in me to imagine how life was. And reading Pamuk’s descriptions – I really cannot wait to do that one day. Reading the pages of Istanbul made me remembered the first time we arrived in Rome – I really felt like we just turned back the time and we were in another dimension of time. The traces of the past were everywhere – and at many places do not seem to be ‘properly cleaned’ and yet, it gives them the personality and flavour. The same feeling I got when we were in Venice, or when I walked around looking at the old palaces in Delhi, or roaming around Kauman area in Yogya, even around the Old Batavia or old part of Jakarta. And these feelings, I did not get at all in Singapore.

We missed visiting some colonial places of Singapore on this trip – but there was nothing in me that said, it was a loss. Well, one because Singapore is close anyway so in a sense, I can go there again easily. But more acutely is this feeling that I am not losing a thing by not visiting them. Because they will be there: clean, preserved, stable – that looking at them will be like looking at a flat, 2 dimensional picture, that will not call upon me the urge of thinking about their past life.

And what I missed also is the soul of the city. Istanbul describes so vividly the profound shared melancholy by the inhabitants of the city. I do not know if that is true in reality or was it just because Pamuk itself was on the verge of depression when he wrote the book, but the book really brings the feeling to life. I did not even get a hint of the city’s emotion in Singapore – or maybe I just have not spent enough time in there.

Yet overall, it was an interesting experience to combine both images – those from the real trip and the ones I received from a book. Each enriches the other – the imagination of Istanbul makes me appreciates the comfort of Singapore; and the sterility of Singapore makes me long for the seemingly chaotic, melancholy and reality of a contradictive life in a city like Istanbul.

(RIRI)

Monday, May 11, 2009

Apa yang Anda Harapkan Dengan Usia 68 Tahun?


Apa yang Anda harapkan dari seseorang berusia 68 tahun? Mungkin tak banyak. Paling-paling seperti ini: bersantai, meluangkan waktu lebih untuk agama, sebaiknya belum terlalu pelupa, dan kalau bisa, tak banyak mengeluh. Anda mungkin akan menggunakan kata “tidak neko-neko”. Kurang lebih sebuah pengharapan halus bagi mereka agar tak banyak merepotkan Anda yang masih bugar dan penuh dengan rencana..

Ada apa dengan usia 68?
Ini semua gara-gara tirani waktu bernama ulang tahun. Kejadiannya berlangsung mulai Kamis sore minggu lalu, saat teman-teman baik saya mulai menyempatkan berpesan: “Selamat ulang warsa!” Whoaaaa, kedengarannya di telinga saya: “Hiii, Cip, saatmu akan segera tiba!”


Anjrit, saya makin tua..

Meski ada kemungkinan saya tak akan pernah sampai di sana, di usia 68, segala sesuatunya perlu dipersiapkan dari sekarang, bukan? Untungnya, meski kejam, masa depan datang satu hari saja setiap saat. Umumnya, masa depan tidak pernah seketika menyergap, kecuali kita bertahun-tahun lamanya melamun. Masa depan berjalan menghampiri kita dengan berjingkat pelan.

[…]

Jadi Jumat sore kemarin, niat saya adalah mencari inspirasi instan tentang “where to?” dan “what for?”. Menyengaja cuti setengah hari untuk ini, saya kabur kanginan di Orchard, sembari menggeret tas travel, dan memutuskan menanti Riri di HMV, di antara deretan rak-rak CD.

Nyaris sendirian di sana, tak sengaja saya menemukan rilisan album terakhir milik Ringo Starr, drummer The Beatles. Album ini berjudul Liverpool 8, penanda kode pos di sebuah distrik di Liverpool, tempat Ringo dibesarkan. Dari album pop ringan inilah -- dirilis pada tahun 2008, beberapa bulan menjelang ulang tahun Ringo ke-68 -- inspirasi kecil itu berasal.

Jika Anda penggemar Beatles, Anda tentu mengenal baik Ringo. Drummer happy-go-lucky ini jelas tak setanding dengan genius seperti Lennon, McCartney, dan Harrison.
Menjawab quiz “berapa orang sih, anggota The Beatles?” Kita berseloroh dengan jawaban semacam ini: “Tiga orang! Dibantu oleh satu drummer, namanya Ringo!”


















Dari hampir 200 komposisi ciptaan Beatles, Ringo hanya menyumbang dua komposisi saja. Harrison menyumbang kurang dari sepersepuluhnya. Meski tak kerap, partisipasi penulisan lagu Harrison hampir selalu menghadirkan komposisi dengan kualitas yang menjulang. Coba putar kembali: Something, Inner Light, Here Comes The Sun, Tommorow Never Knows, dll. Sementara Ringo? Yah, Ringo adalah pelengkap yang manis.

Menyusul bubarnya Beatles, karir solo Ringo, boleh dibilang tak secemerlang teman-temannya. Ia sempat menghasilkan satu dua album yang menembus Billboard Top-20, dan menjadi bintang film serabutan setelahnya. Belakangan, sepuluh tahun terakhir, ia menyibukkan diri dengan live-show bersama Ringo & All Starr Band, sembari membuat studio album tiap tiga atau empat tahun.

Liverpool 8, album terakhirnya, istimewa dalam beberapa hal. Meski sarat dengan nostalgia dan lirik yang sepele, album ini jauh dari cengeng. Tidak ada ratapan. Ke-12 komposisinya menyiratkan semangat, optimisme, dan jauh dari kesan renta. Pada beberapa lagu ia bahkan kedengaran menghentak seperti Bryan Adams 10 tahun yang lalu.
Pada Liverpool 8, Ringo masih membiarkan dirinya playfull dengan mendulang inspirasi dari berbagai genre musik: country, jazz, pop, samba Spanyol, bahkan surrealisme ala Sgt. Peppers. Tak terbayangkan untuk seorang kakek yang mendekati usia 70-an.

Tapi yang paling penting dari Liverpool 8, adalah dedikasi Ringo yang melampaui ekspektasi semua orang, termasuk saya sendiri. Ini tentang seseorang kakek yang tak pernah dianggap serius oleh para pengkritik musik.

Bukannya pensiun, berleha-leha sembari menikmati royalti, pada usia amat senja, ia justru menelorkan album baru, menulis dan menyanyikan sendiri ke-12 lagu didalamnya. Tetap menggebuk drum dan perkusi, serta tak sungkan bermain-main dengan eksperimantasi. Di Liverpool 8, Ringo menggaet musisi progressive-pop seperti Dave Stewart (dari Eurythmics) untuk memoles musiknya, mencari suara-suara baru, dan rela meng-install satu ensembel kecil musik klasik untuk memperkuat beberapa lagu di album ini.
Terakhir, ia masih serius melakukan promosi, mengeluarkan beberapa format (unduhan dijital, USB, maupun CD) serta mendukung album ini dengan rangkain tur di Eropa sepanjang sisa tahun 2008.

Ringo tidak pernah brilyan. Ia tak juga pretensius. Namun Liverpool 8 membuktikan juga bahwa ia tidak setengah hati. Kakek slebor ini masih bisa membuat kejutan-kejutan, tanpa memaksakan diri untuk tetap relevan.

Jadi, dalam satu hal, Ringo dan album terakhirnya, adalah inspirasi saya. I guess, when Im 68, I still want to be able to celebrate life through work and the act of creation, no matter how irrelevant, no matter how small or insignificant. Pada saat itu, saya masih ingin bisa memberikan ‘kejutan manis’, sekali-sekali ‘melampaui ekspektasi’, kalaupun itu hanya terbatas pada orang-orang yang paling saya sayangi..

[…]

Lalu sekarang, saat saya berusia 36, apa yang perlu saya lakukan?

Teman karib saya, balik bertanya: “Bukankah sekarang saatnya untuk menginspirasi dunia?” Saya ketawa: “Ha ha ha, how kind of you! Kamu terlalu banyak baca buku. Lagian aku nggak mungkin se-keren itu”

Teman saya yang lain menulis sebuah pesan istimewa: “Jangan buang-buang waktu, lakukan perjalanan ke dalam. Temukan dirimu. Temukan tujuan Penciptaan..”
Kuduk saya meremang membaca gagasan yang menukik ke inti persoalan semacam ini. Berterimakasih, merasa sudah diingatkan, saya menjawab dalam hati: “Aaaw, the idea is just too lofty for me, mein freund!”

Keesokan paginya, saat sarapan, saya bertanya pada Riri: “Jadi apa, Ri? Aku harus ngapain?”
Dia bilang: “Aaah, birthday boy, I just want you to be happy..”
Matanya melirik pasangan tua di awal 60-an yang berbicara dengan aksen Amerika. Mereka duduk membelakangi kami, dan nampak masih amat sumringah dengan acara pelancongannya di Singapura. Sebelumnya -- mendapati kami sibuk men-set timer kamera dijital -- pasangan ini menawarkan bantuan mengambil gambar kami berdua..
Pagi itu, usai sarapan, kami meluncur ke IKEA. Melintasi Marina dan Tampines yang lengang, saya membiarkan pikiran saya melayang, merumuskan dengan santai, apa yang sejatinya saya inginkan.
Sejenak berikutnya saya merasa menemukan pegangan. Ternyata sesuatu yang amat sederhana, amat pribadi, dan jauh sekali dari gagah...

“Aaah, di usia 36 ini, saya hanya ingin lebih jujur pada diri sendiri. Saya hanya ingin lebih berani mengikuti apa yang terbisikkan oleh hati..”


(CIP)

Thursday, May 7, 2009

Sekelebatan perbincangan anak SMA

Sejak minggu lalu, saya tiba-tiba menemukan bahwa ada banyak sekali waktu di tangan saya. Walaupun bingung pada awalnya, karena saya amat terbiasa dengan jadwal padat yang mengharuskan saya merencanakan jam demi jam yang saya lalui, tapi lama-lama saya menikmati menjalani hari demi hari tanpa harus mempunyai rencana yang jelas.

Tapi tetap ada kerutinan yang saya jalani, dan nikmati. Setiap pagi saya mengantarkan Tara ke sekolahnya. Setelah itu, kalau saya sedang tidak malas bergerak, saya menghabiskan waktu satu jam di sebuah tempat fitness dekat sekolahnya. Atau, saya mengunjungi seorang dokter cantik, teman SMA saya, di kliniknya dan membiarkan wajah saya diutak atik selama kurang lebih dua jam (ini keisengan saya yang baru – salah satu bentuk pendobrakan dinding kebiasaan saya yang tidak pernah peduli dengan penampilan. Saya ingin tahu sampai kapan saya betah berlama-lama melakukan hal ini).

Manapun kegiatan yang saya pilih – fitness atau klinik kecantikan (atau kadang juga, salon), biasanya saya pasti akan membuang sisa waktu menunggu Tara selesai sekolah dengan ‘hinggap’ di McD CafĂ©, Kemang. Ada banyak alasan kenapa saya selalu ke tempat itu – pertama karena tempat ini paling dekat dari sekolah Tara. Kedua karena rasa kopinya sangat bisa diterima dan harganya sangat masuk akal. Dan ketiga – saya suka sekali mengamati orang-orang yang datang ke tempat ini.

Hari ini, setelah mengantarkan Tara, saya memilih untuk ke tempat fitness dan setelah itu ke McD Cafe. Dan saya amat beruntung, karena tempat duduk favorit saya ternyata kosong!. Tempat ini amat sulit untuk didapatkan – karena memang nyaman untuk duduk berlama-lama. Dan kenapa jadi tempat favorit saya – karena dari tempat ini saya bisa melihat seluruh wilayah McD tanpa halangan...dan memuaskan kebiasaan saya mengamati orang.

Tak lama saya duduk, masuklah 5 orang anak SMA – semua perempuan. Dan mereka memilih meja yang jaraknya hanya sekitar satu meter dari tempat saya.

Mereka ngobrol dengan suara yang cukup keras – sehingga saya mudah menangkap apa yang mereka bicarakan: orang tua masing-masing. Awalnya, mereka membicarakan ibu mereka. Salah seorang bercerita tentang ibunya yang selalu protes dengan setiap baju yang ia kenakan – sehingga satu kali ia memutuskan untuk memakai abaya (baju muslim panjang), untuk menutupi apa yang sebetulnya ia kenakan di balik abaya itu (dan saya sangat ’gatal’ ingin menanyakan: memangnya kamu pakai apa di balik abaya itu?).

Yang lain bercerita bahwa ia pernah tidak berbicara selama satu bulan dengan ibunya – karena kesal dengan kebiasaan sang ibu membongkar-bongkar tas sekolahnya. Menurut dia, itu tidak pantas (hmmm....iya, saya setuju....).

Ada lagi yang bercerita kalau ia sering berdebat dengan ibunya karena menurut beliau ia membuang terlalu banyak waktu dengan ikut berbagai kegiatan setelah jam sekolah. Sementara ibunya ingin setelah pulang sekolah, ia pulang, dan belajar. Menurut si anak ini, ibunya sangat ”Kolot, norak, dan ngeselin banget!”. Temannya yang lain menimpali dengan menceritakan kalau ia sendiri juga terkadang mengalami hal yang sama – dan biasanya ia akan meminta perlindungan pada sang kakak. Nah, cerita ini hanya membuat anak yang pertama menjerit, ”Ya elo enak punya kakak, gue kan gak punya siapa-siapa!” (saya hanya bisa menduga ia anak tunggal, atau mungkin bahkan ia adalah anak pertama!).

Lalu bergulirlah cerita mereka tentang hal-hal yang menurut mereka konyol, yang dilakukan oleh kedua orang tua mereka. Ada satu cerita yang hampir membuat saya tertawa keras.

Cerita ini diceritakan oleh si anak yang saya duga anak tunggal itu (yang juga tampaknya paling banyak berbagi cerita kekesalannya terhadap orang tuanya). Sekali waktu ia nonton dengan ibunya, di Citos. Singkat cerita, setelah film selesai, mereka menunggu dijemput oleh sang ayah. Lama mereka menunggu tapi sang ayah tidak kunjung tiba. Akhirnya sang ibu menelepon ayahnya. Ternyata....bukannya menjemput mereka di Citos, sang ayah menjemput mereka, di PIM (dan cerita ini mirip sekali dengan cerita salah satu teman saya – janjian dengan teman lain di sebuah mall di daerah Jakarta Selatan. Dan yang terjadi: teman saya menunggu di PIM, dan teman yang berjanji untuk bertemu itu pikir mereka harusnya bertemu di....Kelapa Gading).

Anyway....saya antara terharu dan tersentak mendengar kelebatan-kelebatan perbincangan lima anak SMA itu. Saya jadi ingat pada saat saya seusia mereka. Betapa sulitnya kadang menerima perlakuan orang tua. Dan saya juga ingat dulu saya punya tiga orang sahabat tempat saya ‘curhat’ – dan sama seperti kelima sahabat yang saya amati itu, kami juga sering menghabiskan waktu berjam-jam berkeluh kesah tentang orang tua kami (well....dari kami berempat yang paling sering berkeluh kesah rasanya sih hanya tiga, salah satunya tentunya saya).

Pastinya salah satu hal yang sering kami keluhkan adalah sama seperti kelima sahabat tadi – kenapa sih orang tua selalu berpikir mereka tahu yang terbaik buat kita dengan memberlakukan berbagai larangan, yang menurut kita belum tentu baik buat kita. Atau yang lebih pasnya – belum tentu menurut kita hal yang ingin kita lakukan itu adalah sesuatu yang salah!. Membolak-balik hal ini, sekarang, saya jadi tersentil dengan betapa seringnya saya menganggap bahwa saya tahu yang terbaik buat Tara. Dalih yang sering digunakan tentunya – kita sudah ‘lebih tahu’ tentang ‘hidup’. Padahal, apa iya?. Apalagi jaman terus berubah, sementara, apakah kita juga terus berubah seiring jaman?. Jangan-jangan jawabannya adalah tidak, atau paling tidak, belum (dan pasti ada saja yang mengelak, dan menganggap, sudah mengikuti jaman...hmmm....punya BB belum jadi jaminan mengikuti jaman lho ).

Lalu, saat remaja, tema lain yang paling sering mencuat juga adalah perlakuan ‘tidak adil’, kalau orang tua mulai membandingkan dengan adik, atau kakak. Wah saya sangat menderita gara-gara hal yang satu ini. Karena saya sangat berlawanan dengan kakak saya yang manis, rajin belajar, selalu juara 2 atau 3 sampai ia SMA. Sementara saya....masih ingat saya harus sekolah setiap hari saja sudah bagus.

Nah, tentang membanding-bandingkan anak membuat saya ingat sebuah obrolan lain. Semalam saya bertemu dengan seorang teman – yang bercerita bahwa dengan sangat sadar, ia berusaha untuk tidak membandingkan kedua anaknya. Dan secara sangat sadar, ia dan istrinya berusaha tidak mengulang perlakuan mereka terhadap anak pertama, kepada si bungsu. Sehingga si bungsu tidak merasa bahwa ia adalah bayang-bayang kakaknya, dan sebaliknya. Menarik, menurut saya. Tidak mudah untuk dilakukan – tapi memang rasanya, kalau mau betul-betul adil, kuncinya adalah dengan sadar tidak membandingkan dan menyamakan perlakuan pada satu anak dengan yang lain. Sehingga mereka bisa menjadi pribadi yang berdiri sendiri, dengan segala keunikannya.

Apakah itu akan menjamin si anak tidak berkeluh kesah kelak?. Rasanya sih, mendengar cerita kelima sahabat itu, pasti tidak. Yang (saya duga) anak tunggalpun punya segudang keluh kesah padahal ia mungkin tidak mengalami pembandingan, atau paling tidak, tidak selangsung mereka yang mempunyai kakak atau adik. Yah, mungkin sudah kealamiahan manusia yang tidak mudah puas, atau mungkin juga kealamiahan remaja yang selalu punya keluhan tentang dunia dan terutama, tentang orang tua mereka. Tapi yang pasti – terlepas dari anak kita akan mengeluh tentang kita atau tidak kelak, usaha untuk melihat setiap anak sebagai pribadi yang unik dan harus diperlakukan secara unik pula, seperti yang dilakukan teman saya itu, menurut saya sangat pantas untuk dicoba.

Tapi ya memang, jadi orang tua sama sekali tidak gampang. Saya sekarang salut dengan kedua orang tua saya yang pasti seringkali harus mengelus dada melihat kelakuan dan segala pembangkangan saya terhadap norma-norma yang berusaha mereka tanamkan. Sekarang, saya jadi menyesal juga dulu sering berkeluh kesah tentang mereka – dan kadang juga menertawai apa yang mereka lakukan, seperti kelima sahabat yang saya amati tadi pagi. Karena thanks to them, saya sekarang baik-baik saja (Alhamdulillah...).

Melihat kelima sahabat itu, saya juga jadi membatin, bagaimana ya kelak Tara akan melihat ayah bundanya. Kami ingin menjadi temannya, berjalan disisinya dan bukan di depan atau di belakangnya. Tentunya itu sulit untuk dilakukan. Pasti kelak akan ada friksi antara kami, ada perbedaan nilai. Saya sekarang hanya bisa berharap saya punya telinga yang cukup lebar, hati yang cukup luas dan mulut yang cukup bisa dibungkam, untuk bisa menerima Tara apa adanya, mendengarkan dia di saat ia butuh seseorang, dan mengarahkan dia saat ia membutuhkannya dan bukan mendikte apa yang harus ia lakukan.

Dan kelihatannya, saya sudah harus melakukan itu sebentar lagi....dan bukan 8 atau 10 tahun lagi saat ia remaja. Hmmm....apakah saya siap?. Demi menyiapkan diri, pelajaran yang saya dapat hari ini adalah, rasanya saya harus lebih sering hinggap di McD Cafe yang sering didatangi anak-anak sekolah ini...dan belajar dari mereka, tentang hidup. Dan mengatakan pada diri saya sendiri - bahwa mereka juga lebih tahu tentang hidup daripada saya, karena kehidupan mereka, unik.


(RIRI)

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts