Sunday, July 4, 2021

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, dengan Jawa atau tepatnya Jakarta sebagai pusatnya.

Saat saya menulis ini, kami sekeluarga sudah menghabiskan sembilan hari di luar Jakarta, delapan hari di pulau Bali.

Saat kami berangkat, angka kasus sedang merayap naik.

Saya sebetulnya sudah agak ragu untuk berangkat karena banyak alasan selain keadaan pandemi. Tapi lalu saya berpikir juga: memang kalau saya di Jakarta saja, saya bisa mencegah apa?. Dan saya butuh waktu untuk menjauh dari Jakarta, dan mengumpulkan kembali energi mental.

Maka, berangkatlah kami, 25 Juni 2021. Another family road trip, from Java to Bali.

Saat saya menulis ini, kami sedang di Padangbai. Tempat menginap ketiga kami, setelah Taman Nasional Bali Barat dan Ubud. Kami masih akan melanjutkan perjalanan ini ke Seminyak, sebelum kembali ke Jakarta tanggal 10 Juli nanti.

--

Ada banyak hal yang saya rasakan selama perjalanan ini.

Antara lega karena jauh dari Jakarta sebagai apa yang saya dan Cip definisikan sebagai ‘pusat badai’, dan juga sedih karena setiap hari kami menerima kabar teman yang terkena Covid.

Antara senang karena kami, terutama anak-anak, bisa menghirup udara segar di alam Bali yang asri, dan sedih karena kehilangan seorang sahabat saat perjalanan ini baru saja dimulai, juga sedih melihat bagaimana di banyak tempat kami melihat puing-puing bisnis yang berguguran.

Antara senang melihat kepatuhan banyak orang di sebagian besar tempat yang kami datangi, juga prihatin melihat mereka harus kena imbas dari sesuatu yang sebetulnya bukan salah mereka.

Dan saya jadi banyak sekali bertanya dalam hati: apa maksud Tuhan membuat bencana besar ini?. Mematikan sedemikian banyak manusia. Membuat kita menjauh dari satu sama lain. Manusia jadi bahaya bagi manusia lainnya, tanpa perlu jadi orang jahat. Membuat banyak sekali orang mengalami kesulitan hidup.

Saya tak tahu apa jawabnya.

Ya, ya, yaaaaaa pasti supaya kita belajar sabaaar, lebih tawakkal, dan sebagainya dan seterusnya. Bukan itu yang saya cari, sih. Bukan jawaban berdasar iman. Bukan saya tidak lagi percaya, tapi, entahlah. Saya rasa saya hanya ingin ada jawaban lain, entah apa. Entah siapa yang bisa menjawab.

--  

Saya sedang mempertanyakan hal yang sama saat memandang langit bertabur bintang di atas Padangbai, saat lagu Imagine-nya John Lennon mengalun dari speaker yang tersambung pada playlist di Spotify yang dibuat oleh salah satu anak kami, yang isinya kompilasi sejumlah lagu kesukaan masing-masing dari kami. Sengaja dibuat untuk menemani road trip kami kali ini.

 

Imagine there's no heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us, only sky

Imagine all the people
Livin' for today
Ah

Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion, too

Imagine all the people
Livin' life in peace
You

You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one

Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed…

 

Mungkin Tuhan ingin kita membayangkan dunia seperti yang John Lennon bayangkan. Dunia tanpa negara. Dunia tanpa pemisahan. Dia ciptakanlah sebuah virus yang dihadapi oleh semua orang. One common enemy. Kita jadi lupa buat saling berperang. Lupa buat saling membunuh. Kita hanya ingin mengalahkan satu saja: virus sialan ini.

Eh tapi lalu saya ingat kalau: masih ada yang berebut susu (ya Tuhan…susu!!!!!). Masih ada yang tidak bisa antri untuk vaksin padahal salah satu yang harus dihindari adalah kerumunan. Masih ada yang tidak mau pakai masker. Masih ada yang tidak mau divaksin dengan sejuta alasannya, dan memilih dengan sadar untuk tidak percaya pada ilmu pengetahuan.

Lalu kita bingung kenapa selalu saja ada bencana yang dialami seluruh dunia?. Katanya, setiap 100 tahun ada bencana yang rata dialami semua. Apakah 100 tahun lagi, kejadian seperti sekarang akan berulang, karena kita tidak pernah belajar?.

Saya sudah mati saat itu terjadi. Semoga saja sih, tidak terjadi lagi. Kasihan generasi mendatang.

Imagine. A world in peace. Forever.

Matahari tadi pagi di Campuhan saat saya dan Cip jalan pagi. Tiap terbitnya matahari, adalah harapan baru. Tapi kadang saya takut berharap, karena saya tidak ingin kecewa... 


Thursday, March 25, 2021

SETAHUN PANDEMI

Setahun pandemi, apa ya pelajaran buat diri gue sendiri?.

Yang pertama banget sih ini: gue merasa semakin dekat ke alam terbuka. Pandemi yang bikin sesama manusia jadi ancaman, menjadikan alam terbuka jadi teman yang betul-betul merangkul. Di sana gue sangat merasa aman, nyaman, dan bebas. Pernah nggak berpikir bahwa mungkin saja Tuhan membuat pandemi ini supaya kita sadar tanpa alam yang dipelihara dengan baik, kita ini nggak ada artinya?.

Lalu, pastinya sih belajar pasrah dan ikhlas. Ya itu sih belajarnya sepanjang hidup, ya. Tapi pandemi ini makin mengajarkan gue bahwa gak berguna rencana ini itu anu, lha wong banyak hal jadi sangat nggak pasti. Ikhtiar yang
terbaik
, selalu, tapi pasrahkan. Dan ikhlas terima apapun hasilnya.
Belajar buat nggak bikin banyak rencana. No plan is sometimes a good plan. Pandemi mengingatkan gue kalau kadang, gue kelewat controlling terhadap banyak hal di 'piring' gue sendiri. Sudahlah, lepaskan. Yang penting kan tahu apa yang harus dikerjakan, rencanakan dengan baik yang mau dilakukan, tapi ya jangan terlalu menekankan semua harus bisa gue kerjakan. Balik ke poin atas juga: pasrahkan, ikhlas.
Syukuri hal-hal yang remeh temeh sehari-hari. Sesuatu yang sesederhana bisa berkumpul bersama saja, suka terlupakan kalau itu adalah rejeki!. Pandemi ini seperti menampar gue bahwa dari hal yang kecil itulah, bisa terjadi hal besar seperti bagaimana gue punya energi mengejar mimpi.
Belajar tuli dan buta terhadap segala hal yang nggak bisa gue kontrol dan ubah di rumah. Lebih banyak berada di rumah, dengan seorang sepuh yang juga punya tekanan emosinya sendiri karena tidak bisa bebas juga melakukan kegiatannya, lalu beliau salurkan emosinya pada hal-hal yang seringkali ndak bisa gue ubah, jujur saja membuat gue stres. Lalu gue belajarlah buat tidak peduli - dan belajar bilang pada diri sendiri bahwa tidak peduli bukan berarti gue jadi anak durhaka (oh well, akhirnya toh gue sendiri nanti yang harus bertanggungjawab. Allah pasti mengerti). Gue mengambil sikap seperti itu demi kesehatan mental sendiri, yang juga penting karena ada banyak hal yang harus gue urus. Dan belajar jadi tuli dan buta terhadap apa yang diucapkan dan ditunjukkan saat itu bukan hal yang menurut gue penting diubah, atau bisa gue ubah, jadi jalan keluar. Kalau istilah gue, "Iyain ajalah, biar cepet. Dikerjain atau nggak urusan nanti". Daripada membuka perdebatan terbuka yang cuma akan beresiko menghasilkan luka. Sudahlah.
Belajar tuli dan buta itu juga gue terapkan pada banyak hal. Gue sudah setahun ndak baca koran Kompas langganan. Hampir setahun tidak ikuti grafiknya Covid. Ada beberapa orang yang gue unfollow (tambahan deretan panjang sejak Pilkada...hahaha). Tidak nambah nilai dalam hidup selama pandemi, menurut gue. Balik lagi: demi kesehatan mental.
Teknologi hanya memudahkan hidup, tapi tidak akan pernah bisa mengganti koneksi dengan mereka yang bisa menambah nilai dalam hidup. Untungnya gue bukan orang yang suka menggadang-gadang kemajuan teknologi. I think it's bullshit jika tidak diiringi dengan kesadaran bahwa kemanusiaa berada di atas segalanya. Dan rasa kemanusiaan yang baik hanya bisa didapat lewat koneksi dengan orang-orang yang tepat. Dan itu tidak tergantikan dengan teknologi. Kehangatan berbincang langsung, tetap gue rindukan, walaupun gue juga menikmati jarak yang terbentang yang membuat gue bisa menikmati ruang gue sendiri. Tapi gue ternyata merindukan kedekatan dengan mereka yang bermakna dalam hidup dan kemanusiaan gue.
--
Itu sih sepertinya pelajaran-pelajaran besar bagi gue dalam setahun pandemi. Beberapa di antaranya pelajaran lanjutan dari masa-masa sebelumnya...haha...nggak kelar-kelar, ujiannya banyak, nggak lulus-lulus 😃
Seperti naik sepeda: kadang ketemu jalan lurus, kadang ketemu tanjakan, kadang ketemu kubangan. Dikayuh saja terus, daripada tertahan di satu tempat lalu bingung mau ngapain di situ 🙂



Wednesday, August 26, 2020

B O H O N G

Siapa yang tidak pernah bohong pada orang tua?.

Bohong tentang apa?.

Ya tentang berbagai hal. Dari hal kecil semisal harusnya belajar tapi malah main, sampai bohong soal uang misalnya.

Saya ya jelas sering bohong. Lha wong ndablek sejak kecil mana mungkin saya suci dari hal yang demikian.

Dari perkara harusnya belajar bareng teman, malah ngobrol. Ngakunya teman, padahal pacaran. Ngakunya mengerjakan tugas kelompok, malah jalan-jalan. Ah banyak lah.

Perkara uangpun, ya pernah. Dan ada satu kejadian yang jumlahnya lumayan besar.

--

Saya baru punya SIM waktu sudah kuliah semester 2. Lha wong memang waktu itulah umur saya baru cukup buat ambil SIM. Dan saya lupa di semester berapa, almarhum ayah saya membelikan mobil bekas.

Mobil itu jarang saya pakai kuliah. Alasannya satu: saya harus bayar bensin sendiri kalau mau pakai mobil tiap hari. Minta? – wuidih, cuma dilirik thoooookkk.

Uang saku saya saat itu, tahun 90 awal, Rp 150.000 dan harus cukup dalam sebulan. Itu juga bukan dari orang tua. Uang itu jatah bulanan dari Bank Indonesia, tempat kerja ibu saya waktu itu, bagi anak pegawai yang harus saya pertahankan dengan nyetor nilai IPK minimal 3 tiap semester.

Uang saku sejumlah itu lumayan cukup buat ongkos dan makan saya tiap hari di kampus. Tidak ada tambahan lagi dari orang tua kecuali kalau untuk beli buku. Yaaa kadang megap-megap juga sih, tapi untungnya, di fakultas Psikologi selalu saja ada yang bisa dikerjakan dari kakak-kakak kelas buat sekedar uang jajan.

Tapi kalau untuk uang bensin, tidak cukup layaw.

Jadi buat apa dong dibelikan mobil?.

Buat antar jemput ibu saya ke dan dari kantor. Buat antar ibu saya ke dan dari pasar setiap hari Minggu. Cerdas memang almarhum ayah saya. Buat beliau yang waktu itu sudah pensiun, memang terbayang sih malasnya harus bangun pagi-pagi, antar istri ke kantor, nanti jemput lagi sore-sore dengan Jakarta yang waktu itu sudah lumayan macet.

Saya sih senang-senang saja dilimpahi tugas itu. Karena, mengantar jemput ibu saya artinya adalah bensin diisi oleh beliau, full tank. Naaahhhh di antara waktu antar jemput, kan saya bisa pakai mobil itu. Jadi kalau sudah diisi full tank, biasanya saya sesekali pakai ke kampus apalagi kalau saya tahu pulangnya akan sore. Sekalian jemput dulu ibu saya di kantornya di Jalan Thamrin sana. Ceritanya anak berbakti (padahal mah akalnya bulus banget).

Singkat cerita, tibalah masa dimana saya membuat skripsi.

Sebelum ujian sarjana, skripsi harus difotokopi 10 kali. Dan waktu itu, kebetulan skripsi saya nyaris setebal Yellow Pages (yang sudah tidak tahu apakah benda ini, silakan cari di Google), dengan pendamping data yang tebalnya 2cm.



(Yang kiri skripsinya, kanan data pendukung. Entah apa yang merasukiku dulu kok ya bisa menulis skripsi setebal itu...)

Di saat yang sama, mobil kecil itu bannya sudah gundul. Sebetulnya saya waktu itu sudah kerja paruh waktu di sebuah tempat kursus Bahasa Inggris, dengan gaji bulanan yang lumayan jumlahnya. Saya sebetulnya bisa mengganti ban tersebut dengan uang saya sendiri, tapi entah kenapa, saya malah cari akal bagaimana caranya supaya ban itu diganti menggunakan uang ayah saya.

Minta? – jelas beliau tidak akan kasih. Pelit?. Tergantung darimana melihatnya. Saya yakin kalau ayah saya sebetulnya sedang mengajarkan nilai barang, dan bagaimana sulitnya memelihara sesuatu. Dan bahwa semua butuh biaya jadi sebaiknya kalau punya uang jangan dibelanjakan seenaknya. “Kalau mau pake uang tu mikir dulu”, begitu beliau dulu sering katakan pada kami.

Lagipula saya tahu jawaban beliau apa kalau saya minta, “Lho kamu kan udah kerja, beli sendiri dong”. Apalagi karena saya memang jadi sering harus mondar mandir ke kampus, lalu mengajar, lalu jemput ibu saya, ya memang saya jadi sering pakai mobil itu.

Tapi pokoknya waktu itu saya memang sedang ingin dibayari. Mungkin separuhnya karena saya merasa selama saya kuliah 6 tahun, 2 tahun terakhirnya saya tidak pernah meminta uang termasuk uang buku karena saya sudah punya gaji bulanan. Saya sudah bayar bensin sendiri. Pengerjaan skripsi termasuk semua biaya yang ada di dalamnya, saya tanggung sendiri. Beliau hanya bayar uang kuliah saya saja yang waktu itu cuma Rp 180.000 per semester.

Jadi fair, dong, kalau saya ingin beliau yang belikan ban baru. Tapi bagaimana cara memintanya tanpa ditolak ya.

Pilihan saya jatuh pada, berbohong.

Saya tunjukkan pada beliau skripsi saya yang tebal itu dan lampiran data yang juga tebal, dan saya bilang kalau saya harus fotokopi keduanya sebanyak 10 kali, dan skripsi harus hard cover (padahal sih tidak perlu). Dan untuk itu semua, saya butuh Rp 2.000.000.

Ayah saya, walaupun dengan sedikit mengerenyitkan dahi, memberikan saya uang yang saya minta (ya kan mintanya dengan tampang memelas tentunya….susaaaahhh banget gitu kayaknya).

Sebelum itu saya sudah mencari tempat fotokopi yang murah tapi bagus di daerah Depok, dan juga cek harga ban baru. Fotokopi kedua dokumen itu, sudah dengan hardcover untuk skripsinya saja, butuh Rp 800.000. Harga 4 ban baru, Rp 2.000.000.

Lho, tekor dong?. Hehehe….that’s not the point. Pokoknya waktu itu saya puas bisa beli 4 ban baru dengan uang dari ayah saya. Skripsi? – ya saya fotokopi dengan uang saya sendiri laaah. Wong gaji bulanan saya waktu itu lebih besar kok dari uang untuk fotokopi itu. Hehe…

Ngeselin?.

Well. Saya ceritakan itu semua pada ibu saya.

Di hari ban yang baru telah terpasang, saya jemput ibu saya ke kantor beliau, saya tunjukkan ban itu, dan saya ceritakan semuanya.

Reaksi beliau? – ngakak!. Padahal saya sudah takut dimarahi, dianggap anak tak tahu diri. Eh beliau malah siap bilang ban itu diganti oleh beliau, kalau ayah saya tanya-tanya. Padahal bukan itu maksud saya cerita pada beliau. Saya hanya ingin cerita saja, entah kenapa. Mungkin sebetulnya ingin mengurangi rasa bersalah. Dan, takut ndak lulus ujian sarjana karena kualat. Paling tidak kan saya jujur pada salah satu orang tua saya, walaupun tetap saja ayah saya tidak tahu kalau saya bohongi.

Entah karena jujur pada ibu saya, atau memang karena kebetulan penguji skripsi saya sudah kadung kagum sejak saya berikan skripsi saya yang nyaris setebal Yellow Pages itu, saya bisa lulus sarjana dengan nilai nyaris sempurna kalau saja tidak pernah dapat nilai D.

Sampai ayah saya meninggal, rahasia itu tersimpan rapi di antara saya dan ibu. Saya tidak tahu apakah kalau saya cerita, beliau akan memaafkan saya atau tidak. Yang jelas, sekarang kalau saya lihat skripsi yang ada di salah satu rak buku di rumah kami, saya kok ya malah ketawa. Parah yo.

--

Saya jadi bernostalgia tentang ini gara-gara tadi siang melihat postingan bapak Sutrisna Wibawa, Rektor UNY, tentang mahasiswa yang membohongi orang tuanya tentang biaya kuliah.



Apapun alasannya, harus diakui itu salah jika orang tua kita memang harus susah payah membiayai kita menempuh pendidikan yang layak. Mereka, pasti ingin hidup kita lebih baik, makanya banting tulang cari uang. Lha kok malah dibohongi.

Saya tidak bilang kelakuan saya dulu membohongi ayah saya benar hanya karena orang tua saya kebetulan bukan orang susah. Tetap saja sih, salah. Tapi saya tidak makin membuat hidup mereka susah karena saya tidak membuat ayah saya misalnya jadi usaha keraaasss untuk mengeluarkan uang itu. Justru karena saya tahu beliau punya uang, saya berani sebandel itu.

Tapi kalau untuk hidup sehari-hari saja sudah sulit, ditambah harus mencari uang sekuat tenaga demi membiayai sekolah kita, lalu malah dibohongi, lha njuk piye.

Kalau masih jadi mahasiswa saja sudah mental maling, mau jadi apa negeri ini kelak?. Bohong ya boleh, silakan, lha wong dosanya ditanggung sendiri kok. Tapi ya kalau pada orang tua sendiri ya bohongnya mbok pakai perasaan juga gitu lhooo. Dikira-kira. Gemes akutu.

Saya yakin satu hari nanti, anak-anak saya pasti berbohong juga pada kami. Atau ya mungkin malah sudah. Tapi saya berharap apapun kebohongan mereka kelak, itu bukan sesuatu yang massif, yang dilakukan karena kecacatan karakter, tapi semata karena keusilan berpikir anak terhadap orang tuanya. Karena kalau yang terakhir saya yakin, semua anak pernah melakukannya.

Kalau sudah membohongi institusi, lalu membohongi orang tua, secara tidak sadar itu memelihara bibit korupsi. Koruptor terbaik, adalah mereka yang tidak punya hati, bahkan terhadap orang tuanya sendiri. Dan membaca postingan bapak Sutrisna tadi siang, saya takut bibit-bibit itu sedang tumbuh subur. Semoga saja saya salah.

Tapi lalu masuk pesan WA dari kakak saya yang cerita ada temannya yang bekerja di UI mengelola dana untuk mahasiswa yang tidak mampu. Membaca ceritanya, kok ya saya sepertinya harus mengelola harapan saya.

Ah. Negeriku. Banyak sekali kepedihan yang harus kau tanggung.


Thursday, August 6, 2020

MELAMBAT, MERASAKAN HIDUP

Sudah hampir sebulan anak-anak kembali sekolah. Artinya, kami juga kembali ke rutinitas normal karena anak-anak mulai sekolah jam 7.30 lagi.


Pagi, artinya adalah kembali menyiapkan sarapan anak-anak dan Cip. Setiap malam, artinya adalah bertanya pada anak-anak, terutama Lila, "Besok pagi mau sarapan apa?".


Minggu lalu, Lila minta dibuatkan, "Nasi goreng bunda itu lho, yang pakai sosis sama telor". I made it. Dan karena sekolah di rumah, nasi goreng itupun ludes saat mereka istirahat pertama di jam 10.


Semalam, LIla minta dibuatkan pancakes. Easy now, sudah tak perlu bahan pancakes yang ready mix, thanks to her Uncle who gave me the recipe (yaah bisa cari di Cookpad, sama pasti, tapi gimanapun juga, something that was given by your own relative, always feels more meaningful, yes?).


So I made it this morning. Gue buat juga beberapa pancake cimik timik yang sekarang sedang viral ituuuhh. Iseng aja, sampai lalu merasa kok lama banget, dan bikin ukuran biasa. Hahaha... No pictures this time, sudah habis semua dan kamera handphone gue pagi ini nggak lapar.


Setiap pagi juga, karena Cip berangkat ke kantor relatif lebih siang (no matter how much I want him to just work from home, tapi ya gimana, di rumah, dia akan tergoda baca komik daripada kerja. Rumah, adalah 'sarang', katanya), kami berempat selalu punya waktu lebih lama buat duduk bersama di meja makan. Sarapan bareng, lebih tenang karena nggak ada yang buru-buru harus berangkat. Anak-anak akan cerita tentang hari mereka kemarin, dan apa yang akan mereka pelajari hari ini.


Sebuah rutinitas yang sebelum pandemi ini, sudah selalu kami lakukan. Bedanya: sekarang semua terjadi dengan lebih lambat.


Tidak ada ketergesaan. Yang ada adalah ritme yang menyenangkan, sampai di waktu masing-masing harus mulai melakukan aktifitasnya, dan gue mengucapkan, "Have fun learning girls!" pada anak-anak sebelum mereka ke meja belajarnya masing-masing. Dan, "Have fun at work" pada Cip yang siap-siap ke kantor (dan gue selalu melepasnya dengan segudang doa dalam situasi serba tidak pasti ini....may God protect him, and us).


Kadang kita lupa betapa rutinitas, adalah sesuatu yang juga membuat kita 'hidup'. Dan bahwa ketergesaan di tengah rutinitias kita, seringkali merampas sesuatu dari hidup. Entah itu kehangatan, kedekatan, atau sekedar waktu buat merasa, "I'm fine. I'm OK. I'm grounded".


Pandemi ini membuat kita melambat, tapi tidak selalu berarti buruk. Ketergesaan, juga tidak selalu berarti kita kehilangan sesuatu. I guess it all depends on how you balance those two out.


Jangan-jangan, pandemi ini sekarang hadir untuk mengingatkan betapa sering kita tenggelam dalam ketergesaan yang membuat kita lupa untuk betul-betul 'hidup'. Mungkin, perlambatan ini hadir supaya kita kembali pada 'rasa' dan kemampuan untuk merasakan semua hal yang mengayakan hidup. Memampukan kita 'merasa hidup' lagi.


Seperti kemarin saat salah satu teman mengirimkan foto ini, dan bilang bahwa melihat pemandangan ini, sambil memikirkan cashflow, rasanya kok ngelangut. Buat gue sebaliknya: pusing memikirkan cashflow, tapi masih bisa menikmati pemandangan dengan perlahan, dan meresapinya, adalah anugrah tersembunyi. Itulah, merasakan hidup dan semua di dalamnya. 





Sunday, June 7, 2020

Hidup itu serba sementara


Itu mah gue juga tahu.

Hehehe…. Iya, gue juga pernah tuh mikir gitu. Nggak perlu dikasih tahu emang iya kok, semua yang ada di hidup kita kan sementara aja.

Tapi, ya, memang lebih mudah bilang, “Ah gue juga tahu”, saat kita belum ngalami sendiri apa rasanya harus menghadapi kesementaraan yang meninggalkan luka.

Tamparan yang paling sakit bagi gue sebagai pengingat terhadap kalimat itu, adalah saat Papa meninggal. Begitu mendadaknya. Hanya selang sehari dari kali terakhir gue dengar suara beliau lewat telepon. Tiba-tiba saja, beliau pergi. No sign. No goodbye. He’s gone. For good.

Bertahun-tahun setelahnya, lukanya nggak sembuh-sembuh. Kehilangan yang terlalu menyakitkan. Dan butuh waktu cukup lama untuk bisa menyembuhkan diri gue sendiri dari rasa kehilangan, rasa bersalah karena tidak bisa lagi ucapkan terima kasih secara langsung, dan bahkan, rasa marah pada Tuhan karena mengambil beliau begitu mendadak.

Tapi ternyata, perjalanan menghadapi kehilangan Papa dan semua yang terkait dengan itu, membantu mempersiapkan gue menghadapi kesementaraan-kesementaraan lainnya dalam hidup.

Jatuh bangun saat harus mimpin sebuah perusahaan dan angka penjualan tiba-tiba jatuh ke jurang. Setengah mati menyemangati diri sendiri, dan tim, supaya jangan menyerah. Bahwa kejatuhanpun, adalah hal yang sementara.

Mulai lagi dari awal saat memutuskan berhenti dari dunia korporasi, saat jabatan saat itu sudah lumayan tinggi. Sempat kerja paruh waktu. Sampai lalu memutuskan gabung ke perusahaan teman dengan jabatan yang sama dengan yang gue jalani 8 tahun sebelumnya. Tapi apa sih artinya jabatan dan semua fasilitasnya? – kesementaraan dalam pekerjaan, itu saja.

Memulai usaha sendiri. Lalu jatuh bangun membesarkannya bersama tim. Dan dalam kurun waktu hampir 10 tahun ini, mengalami banyak sekali hal yang membuat gue kadang ketawa sendiri. Kesementaraan-kesementaraan yang lucu-lucu. Dari mulai anggota tim yang keluar masuk, pencapaian target yang naik turun, sampai semangat yang hilang timbul untuk terus bergerak. Lucu, sekarang. Menjalaninya sih, ya kesel, sedih, frustrasi. Tapi ya itu, semuanya sementara. Lewat juga kok.

Lalu sekarang ada pandemi.

--

Saat gue menulis ini, sudah 3 bulan kami sekeluarga lebih banyak di rumah saja. Cip baru kerja ke kantor hampir setiap hari, di 3 minggu terakhir dari 3 bulan itu.

Pekerjaan dia dan gue dalam kondisi yang sama sulitnya. Bisnis melambat. Mungkin nasib gue masih lebih beruntung daripada Cip yang harus bertanggungjawab pada korporasi besar, dan apa yang dia harus putuskan juga mau tidak mau terkait pada korporasi. Dia juga punya tim yang lebih besar. Dan dia adalah kepala keluarga.

Sementara gue, ‘cuma’ bertanggung jawab pada 3 rekanan bisnis, dan 5 anggota tim. Punya keleluasaan buat memutuskan apa yang harus dilakukan, tanpa harus tunggu siapapun.

Mudah?. Hmmmm…..nggak juga sih.

Salah satu ketakutan gue sejak dulu, yang menahan gue dari bikin usaha sendiri bertahun-tahun lamanya padahal Cip sudah selalu mendorong untuk mulai, adalah takut bangkrut. Sekarang, ketakutan itu membayangi gue. Setiap bulan pertanyaan yang mengemuka adalah: masih punya uang berapa kita buat bayar gaji karyawan?. Walaupun karyawan kami dihitung dengan jari di dua tanganpun tidak habis, tetap saja, mereka adalah tanggung jawab.

Tapi yaaa itulah. Sejak pandemi ini terjadi, gue kembalikan pada hal yang sama: semua hanya sementara. Virusnya mungkin nggak sementara. Itu sih gue yakin dia akan stay seperti halnya virus flu. Tapi pasti kita akan menemukan jalan keluar dari segala yang jadi akibat dari pandemi ini. Lha kita ini dianugerahi otak tuh buat apa kalau bukan dipakai berpikir, “What’s next?”. Mau namanya new normal kek, new abnormal kek, abnormal yang normal kek, apalah apalah apalah jargon yang mau dibuat, intinya kan satu: ada jalan keluar, kok.

Cuma mungkin kita memang perlu keteguhan mental dan ‘cara’ supaya mental ini teguh menghadapi semua kesementaraan dalam hidup.

Gue biasanya berpegang pada 3 hal ini: jangan pernah bereaksi ‘terlalu’, jangan pernah mengaitkan diri pada jabatan dan harta, dan jangan pernah lupa berbuat baik pada sekitar.

Terlalu senang, terlalu sedih, terlalu cinta, terlalu benci, semuanya payah. Perasaan harus dikontrol oleh otak supaya tidak terjebak dalam yang terlalu-terlalu itu. Sehingga saat ada kehilangan, kita juga bisa cepat santuy dan berpikir logis di alur yang benar.

Jabatan dan harta – salah dua dari hal yang menurut gue paling sementara dalam hidup. Hari ini Managing Director, besok jadi kuli. Hari ini dompet ada isinya, minggu depan kering kerontang.

Roda hidup selalu berputar. Dan gue selalu yakin bahwa perputaran itu, KITA yang bikin. Keputusan-keputusan kita dalam hiduplah yang memutar roda hidup kita sendiri. Dan bagaimana kita menyikapi hal-hal yang tidak bisa kita kontrol, ya tergantung pada kita menyandarkan diri kita pada apa. Dan saat kita menyandarkan diri pada jabatan dan harta, menurut gue sih, we are asking for trouble.

Misalnya ya buat gue, jadi MD ya memang tetap saja kuli sih. Lha wong kita tetap kerja karena dan buat orang lain kok. Intinya kan cuma satu: bekerja dan berkarya. Itu yang dipegang. Jadi kadang gue bingung kalau ada yang turun jabatan lalu jiwanya meronta. Santai brosis. Masih hidup toh?. Masih punya otak toh?. Pakailah buat cari jalan keluar. Jangan dipakai buat merintih.

Berbuat baik membuka pintu-pintu rejeki. Gue amat sangat percaya pada yang satu itu. Banyak contohnya. Dalam hidup gue sendiri, sering sekali gue menemukan jalan-jalan terbuka di saat-saat gue bingung, dan gue selalu meyakini itu adalah jalan yang dibukakan oleh apapun kebaikan yang pernah gue lakukan. Bukan berarti gue bilang gue orang baik, lha wong gue sering dibilang galak. Tapi sepertinya sih ada laaahhh saat-saat gue cukup eling lalu berbuat baik. Apapun itu.

Dan berbuat baik juga bukan hanya pada manusia. ‘Sekitar’ kita ini bukan cuma banyak manusia kan?. Ada hewan, tumbuhan. The earth, is our universe. Jadi berpikirlah juga bahwa berbuat baik itu, bisa pada apapun yang ada di sekitar kita. Bahkan pada seekor semut kecil yang nggak sengaja tercemplung dalam minuman kita, kita tolong dia keluar, itu sudah berbuat baik. Paling tidak itu menurut gue.

--

Jadi yaaah santuylah brosis. Seberat apapun beban yang saat ini harus kita jalani, yakini saja, semua hanya sementara. Asal sandaran kita benar, bukan pada istri atau suami orang #eh, yakini saja bahwa semua yang susah dan berat sekarang, akan bisa dilalui. And we will come out stronger.

And God is good. Jika anda percaya itu. Kalau ndak ya monggo, asal percaya pada kemampuan otak anda buat keluar dari masalah. Karena otak orang lain belum tentu paham apa yang badan dan hati anda inginkan.

Semangat!.  

Tulisan ini dibuat untuk kelak gue bisa mengenang suatu masa di tahun 2020 saat pandemi melanda dunia. Seperti gue mengenang semua perjalanan yang pernah gue lakukan, baik di alam lepas, maupun alam dalam diri sendiri

Friday, January 24, 2020

PANIC PARENTING


Pagi ini iseng scrolling IG. Lalu melihat salah satu akun yang saya ikuti, mem-post foto ini.
Saya baca dengan seksama. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Dan saya tertegun.

Harus, ya, segitunya kita harus bereaksi karena adanya kasus ini itu yang menyangkut anak-anak yang depresi lalu bunuh diri?.

Tolong dicatat dulu.

Saya bukan bilang bahwa kasus-kasus tersebut bisa diabaikan. Tentu kita semua harus prihatin, dan refleksi diri: apa yang sudah (atau belum) saya lakukan sebagai orang tua untuk memastikan anak-anak saya tidak mengalami hal yang sama?. Apa yang sudah (atau belum) saya lakukan supaya anak-anak saya bermental kuat apapun yang harus mereka hadapi, ada orang tuanya ataupun tidak?. Sudahkah saya mempersiapkan anak-anak saya menghadapi berbagai tantangan di luar sana?. Adakah dukungan yang cukup saat anak saya harus menghadapi tantangan yang membuat perasaannya terganggu?.

Tapi tidak lalu bereaksi terhadap lagu, yang saya yakin banyak sekali orang di Indonesia ini yang kenal, dan menyarankan mengubah kata-katanya. Bagi saya, itu adalah reaksi kepanikan. Dan sebagaimana panik, tidak pernah produktif dan tidak pernah menyelesaikan masalah.

Saya dan juga banyak sekali orang tua di Indonesia ini, pasti dibesarkan dengan lagu itu juga. Pertanyaan saya: apakah saat ini saya, atau anda, depresi atau jadi orang yang lembek terhadap tantangan hidup?. Jika jawabannya iya, pertanyaan selanjutnya: apakah karena saya, atau anda, jadi lembek karena dulu wkatu kecil menginternalisasi lagu tersebut sebagai 'kalau ada kejadian yang tidak enak maka kita harus bersedih dengan kekacauan perasaan'?.

Saya yakin jawabannya tidak.

Kita tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kompleks. Kita semua. Ada sekolah, ada rumah, ada tempat les dan sebagainya. Interaksi antar manusia adalah salah satu hal yang paling kompleks di dunia ini. Penuh dengan emosi, reaksi - aksi, bahasa dan sebagainya.

Ada pula berbagai hasil budaya, misalnya film, musik, tarian dan sebagainya.

Semua itu, membawa dampak pada bagaimana kita terbentuk sebagai manusia yang utuh. Apakah dampaknya baik atau tidak, tergantung lagi pada bagaimana kita 'dibentuk' oleh orang tua di rumah. Iya. Saya selalu yakin rumah, adalah sumber segala pendidikan.

Jadi mudah 'jatuh' atau tidak karena tantangan hidup, juga dibentuk dari rumah. Apa yang dilatihkan oleh orang tua kita, siapapun orang tua itu (karena ada juga kan yang dirawat bukan oleh orang tua kandung), menggunakan stimulus apapun, akan berbekas di benak dan hati kita dan membuat siapa kita sekarang. 

Dan dalam kadar yang berbeda ada pula para guru dan pendidik sekitar kita yang berperan menyumbangkan pecahan-pecahan ilmu akademis maupun hidup, yang menyatu dalam diri kita.

Kembali pada lagu tadi, saya malah melihat dalam karya aslinya, lagu itu bisa membantu anak mengetahui apa perasaannya. Sesuatu yang juga harus diajarkan. Mengenali emosi, adalah juga cara untuk mengajarkan anak belajar empati. "Apa yang kau rasakan kalau balonmu meletus?", itu kan pertanyaan wajar saja. Kalau jawabannya sedih, terus kenapa?. Lha iya kan, rasa itu ada. Kenapa dinegasikan?.

Tapi ya tentunya PRnya orang tua adalah mengolah, kenapa tidak apa-apa sedih. Seberapa lama boleh sedih. Apa yang bisa dilakukan kalau sedang sedih kehilangan balon, atau boneka, atau nilai yang diinginkan, atau kelak, pacar. Lebih jauh lagi, apa yang bisa dia lakukan kalau dia menghadapi ORANG LAIN yang mengalami kehilangan itu. Dia tahu apa rasanya, jadi apa yang dia bisa lakukan untuk membantu orang tersebut melalui proses kehilangan.

Proses ini tetap perlu dirasakan, dialami, dibicarakan. Supaya anak menjadi kuat karena mengerti apa yang dia rasa dan bagaimana menghadapinya. 

Dan lebih jauh lagi jika dia tahu bahwa dia bisa merasa seperti itu, maka orang lain yang mengalami situasi yang sama, bisa jadi mempunyai rasa yang sama. Itu adalah dasar empati.

Jadi, ya jangan salahkan lagunya, atau dalam bentuk lain misalnya filmya, atau puisinya. Tapi lihat bagaimana kita bisa menggunakan lagu, film, atau tarian, atau puisi, apapun itu, sebagai alat untuk membentuk anak secara benar.

Saya sering jadi khawatir sekali dengan bagaimana sebagian masyarakat kita ini bereaksi terhadap sebuah kejadian. Sering terlihat lebay dan panik di mata saya. Lalu memunculkan himbauan ini itu lah, larangan lah, fatwa lah, sampai ya itu, saran mengubah lirik lagu. Ada yang namanya Hak Cipta lho. Anda mau kena tuntutan pelanggaran undang-undang hak cipta?.

Lalu sadarkah kita, sikap seperti itulah justru yang jika diobservasi anak, yang dalam pengalaman saya sebagai Ibu, mereka itu jagoan mengobservasi dalam diam lalu disimpan di benaknya untuk kemudian dicontoh, malah membuat mereka jadi lembek dan tidak tangguh?. Merasa  selalu ada yang melindungi, alih-alih belajar menghadapi.

Mari kita semua belajar berpikir logis, kepala dingin, dan tidak reaktif. Belajar untuk tidak selalu membuat pagar setiap kali ada kejadian tidak enak terjadi. PR kita sebagai orang tua adalah menguatkan mental anak dengan cara yang masuk akal. Menghilangkan stimulus-stimulus yang MENURUT KITA negatif, itu tidak membantu. Mereka hanya akan tumbuh dalam gelembung kenyamanan, dan akhirnya, tumbuh jadi manusia-manusia yang lembek dan mudah menyerah.

Biarkan anak menghadapi dunia apa adanya. Tapi juga siapkan diri kita buat ada dalam hidup mereka seutuhnya. Hadir di sisi mereka. Menjadi tonggak penguat yang bisa mengajak mereka berdialog tentang perasaannya dan apa yang harus dilakukan, secara logis.

Let's not do panic parenting. It does no good to anyone.

Have a good Friday.

Bayangkan

Saat saya menulis ini, Indonesia sedang mengalami badai kedua (atau bahkan ketiga?), yang mengakibatkan naiknya kasus dan tingkat kematian, ...

Popular Posts